Menghitung Posisi Indonesia di Pentas Asean

Ahmad Erani Yustika

KTT Asean yang digelar di Jakarta pekan lalu menerbitkan banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni pihak yang optimis dan pesimis.

Pihak yang optimis melihat Indonesia akan mendapatkan benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar tunggal Asean, utamanya jika melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin Indonesia akan makin tenggelam perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk negara tetangga.

Hal ini bisa terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang serbuan ekonomi luar negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara sungguh-sungguh.

Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran dalam menganalisis persoalan ini, sehingga mengenali kedua sudut pandang tersebut menjadi sangat penting.

Tabulasi masalah

Jika berbicara soal kompetisi (perekonomian yang makin terbuka saat ini, sekurangnya terdapat dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi ekonomi domestik dan peluang yang bisa direbut. Dalam beberapa aspek, harus diakui perekonomian nasional telah mencapai hal-hal positif dalam beberapa tahun terakhir, seperti stabilitas makroekonomi, ekspor yang makin maju, dan sektor keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat soal-soal serius yang belum juga mengalami perbaikan berarti.

Pertama, perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif yang menjadi napas hidup sebagian besar masyarakat.

Peranan dan pertumbuhan sekor pertanian dan industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga fondasi konomi nasional menjadi keropos.

Dukungan sektor keuangan (bank) terhadap kedua sektor ersebut juga makin melorot. Bayangkan saja, pada 2000 sekor tradeable (pertanian, indusri, pertambangan) masih menyerap 47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi tinggal 4,22% (Indef, 2011).

Kedua, iklim investasi di Indonesia juga stagnan, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara sekawasan.

Dalam beberapa aspek memang terdapat perbaikan iklim investasi di Indonesia, seperti biaya perizinan yang makin murah, jumlah prosedur yang terus berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat. Namun, percepatan perbaikan itu kalah langkah ketimbang negara-negara tetangga, sehingga tetap saja membuat iklim investasi dan daya saing tertinggal di bagian bawah.

Misalnya saja, biaya memulai bisnis di Indonesia masih 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Singapura dan Malaysia masing-masing 0,7% dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal lama pengurusan izin usaha, di mana Indonesia hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada level Asean (Bank Dunia, 2010).

Jika soal-soal ini tidak segera ditangani secara sigap dan cepat, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara Asean di masa depan.

Ketiga, masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur.

Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ini (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, jembatan, air minum, rel kereta api, bandara, dan lain-lain), misalnya mengadakan infrastructure summit, namun hasilnya sangat tidak memadai.

Di luar soal pendanaan, aspek yang jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah menindaklanjuti persetujuan investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur kita jauh tertinggal daripada negara sekawasan.

Meskipun kondisi perekonomian bisa dikatakan compang-camping, sejauh ini Indonesia masih memetik perdagangan dengan negara-negara Asean.

Pada 2010 neraca perdagangan Indonesia ke Asean surplus US$3,6 miliar, dengan perincian ekspor sebesar US$25,6 miliar dan impor US$22,0 miliar (BPS, 2011).

Kinerja perdagangan ini terus menunjukkan tren membaik, mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat perdagangan defisit ke Asean.

Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tetapi masih di bawah US$900 juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar US$2,9 miliar).

Ini menunjukkan kompetisi yang relatif bagus dari Indonesia berhadapan dengan negara kawasan Asean. Namun, tentu ada beberapa syarat lagi yang perlu dipenuhi oleh Indonesia.

Pertama, tidak ada keterpaduan antara pengembangan sektor keuangan (khususnya perbankan) dengan sektor riil.

Sektor perbankan memang berkembang cukup bagus, yang ditunjukkan dengan beberapa indikator kunci, seperti LDR, CAR, NPL, ROA, dan lain sebagainya.

Namun, jika diperhatikan secara saksama, terdapat masalah serius yang perlu segera dibenahi yakni masih tingginya net interest margin yang diambil oleh perbankan, sehingga membuat ongkos investasi sangat mahal. Di Asia, barangkali saat ini hanya Indonesia dan India yang tingkat suku bunga kredit masih di atas 10%.

Masalah serius lain yang juga perlu dibenahi ialah kredit perbankan yang makin tidak berpihak kepada sektor riil (industri dan pertanian). Pemerintah dan Bank Indonesia perlu sungguh-sungguh mendesain insentif yang memungkinkan kedua sektor itu disantuni kembali oleh perbankan.

Kedua, terlalu banyak program dan target jangka pendek sehingga kita kehilangan perspektif jangka panjang.

Pasar tunggal Asean, blok perdagangan AFTA, dan lain sebagainya, tidak bisa disikapi sebagai tantangan ataupun peluang jangka pendek, melainkan mesti dilihat sebagai fenomena jangka panjang. Dengan begitu, rumusan-rumusan program dan target yang dibuat juga mesti memiliki dimensi jangka panjang.

Pada titik ini kita mengalami masalah serius, karena nyaris tidak ada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah untuk merancang format ekonomi pada masa depan, misalnya sektor induk perekonomian, bagaimana pohon industri yang hendak di kembangkan, dan sumber daya (manusia, teknologi, ekonomi) yang harus dipersiapkan.

Hal yang berbeda justru sudah dimiliki negara tetangga, seperti Malaysia, sehingga dengan langkah pasti mereka siap memasuki pasar tunggal Asean.

Aneka tantangan berat inilah yang harus dijawab pemerintah jika Indonesia ingin berada di podium utama pentas Asean. *Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya/Bisnis Indonesia.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 3311. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim