GARAM

Tradisionalitas petani garam. foto:istimewa

Strategi, Produksi, dan Kualitas – (bagian pertama)

Mari kita bicara lagi soal garam. Mumpung, RUU soal komoditas ini baru hangat dari meja DPR RI. Hangat karena baru disahkan Selasa 15/3 lalu di Jakarta. Aroma asin ini masih terasa sangat kuat bagi para petani garam di Jawa Timur.

Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya mengandung Natrium chlorida (NaCl). Mengandung juga senyawa air, magnesium, kalsium, sulfat dan bahan tambahan iodin, anti caking atau free flowing maupun tidak.

Kriteria kualitas garam produksi, pengelompokkannya dari jenis garam petambak untuk penentuan harga penjualan garam ditingkat petambak yang ditetapkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri berdasarkan kesepakatan instansi/asosiasi terkait.

Adapun pembagiannya adalah Kuaitas Produksi (KP) 1 dan KP 2, yaitu untuk KP 1 berupa jenis garam dengan kadar nacl minimal 94,7%, warna garam putih bening dan bersih dengan ukuran butiran garam minimal 4 milimeter dengan harga terendah sebesar 750 ribu rupiah per ton. Sedangkan untuk KP 2 adalah jenis garam dengan kadar NaCl antara 85% – 94,7%, warna garam putih dan ukuran butiran minimal 3 milimeter dengan harga terendah sebesar 550 ribu rupiah per ton.

Dalam perkembangannya, garam menjadi komoditas penting. Komoditas strategis. Komoditas yang belum memiliki substitusi namun sangat diperlukan untuk konsumsi maupun industri.

Garam Konsumsi memiliki spesifikasi antara lain beryodium dan mengandung NaCl sebesar 94 – 97 persen. Sedangkan untuk garam industri diharuskan memiliki kandungan NaCl sebesar 98 persen, non yodium, non impurities, serta non logam.

Pemanfaatan garam konsumsi adalah untuk kebutuhan rumah tangga, industri pangan, pengalengan ikan, pengasinan ikan. Garam industri biasanya untuk keperluan industri chlor alkali.

Pengembangan usaha garam rakyat ke arah industrialisasi, dilakukan  agar garam rakyat dapat diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri, dengan mekanisasi pengolahan dan penerapan teknologi yang lebih modern, biaya produksi yang lebih efisien.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur pun tidak tinggal diam. Produksi garam Jawa Timur selama lima tahun terakhir mencapai swasembada garam. Berdasarkan kebijakan dari pusat akan dilakukan upaya meningkatkan kualitas dari program Pugar (Pengembangan Usaha Garam Rakyat).

Dalam program ini bukan pemberdayaan lagi melainkan pengembangan. Artinya era menuju indutrialisasi, melibatkan sentuhan teknologi untuk mencapai hasil produksi yang sanggup memenuhi kebutuhan industri, tidak hanya garam konsumsi.

Kebutuhan garam untuk Jawa Timur mencapai 150 ribu ton, sementara di tahun 2014 produksi garam Jawa Timur mencapai 1,086 juta ton. Itu artinya Jawa Timur sudah mencapai swasembada garam.

Sekadar diketahui, sebelumnya, program Pugar atau Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat, ada setelah 2010 secara nasional produksi garam dianggap nol karena gagalnya produksi garam di tahun tersebut. Melalui program Pugar diharapkan bagaimana memberdayakan kembali petambak garam untuk aktif lagi memproduksi garam, dalam bentuk BLM, diberikan kepada kelompok-kelompok petambak garam yang sudah terverifikasi oleh kabupaten/kota yang wilayahnya ada petambak garam.

Terdapat 11 kab/kota yang berpotensi memproduksi garam ada di Jawa Timur. Antara lain Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep. Di tahun 2015 ada tambahan satu wilayah yaitu Kabupaten Sidoarjo.

Selain itu, juga ada bantuan pedampingan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjuk orang untuk mendampingi para petambak garam. Seluruh operasional dibiayai Kementrian, intinya mereka wajib mendampingi secara teknis untuk program-program dari Kementrian yang disosialisasikan lewat pendamping.

Persoalan tata niaga merupakan persoalan paling mendasar yaitu masih bergantung pada tengkulak. Penetapan harga juga dari tengkulak. Sehingga petambak garam belum bisa memegang kendali atas harga. Biasanya ini terjadi karena mereka terikat hutang, dan tengkulak tidak memberi harga berdasarkan pengelompokkan yang ada.

Ini yang menjadi penyebab serapan rendah di tengah produksi garam yang melimpah. Persoalan di lapangan seperti itu, sedikit demi sedikit harus dilakukan penataan kembali agar tidak seperti tak terurus. widikamidi/bersambung

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim