Garam Impor Merembes Lagi, Petani Garam Makin Terhimpit

Petani panen garam. foto: dok merdeka

Duh… garam impor merembes lagi. Argofarm menulis, sebanyak 225 ribu ton garam impor ‘haram’ masuk  pada 2013. Dalam impor garam  itu importir mengunakan izin untuk garam industri (aneka pangan-red).  Garam itu tidak dikenakan bea masuk sebesar 10 persen. Padahal hanya garam konsumsi yang bebas bea masuk.

“Laporan dari PT Garam, ternyata ada impor di tahun 2013 untuk kebutuhan industri aneka pangan, tapi izinnya pake yang untuk garam konsumsi, bea masuk nol persen. Ini sampai PT Garam menyurat resmi ke Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Ini kan berarti pemerintah mbalelo,” ujar Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sudirman Saad.

Sudirman menyatakan pihaknya bertanggung jawab disektor hulu dengan menjaga produksi petani garam lokal agar tidak terdesak oleh impor. Sementara terkait 255 ton garam industri aneka pangan kordinatornya berada di Kementerian Perindustrian.

Dalam Peraturan Menteri Perindustrian No: 134/M-IND/PER/10/2009 tentang peta panduan (road map) pengembangan kluster industri garam menyebutkan garam jenis aneka pangan masuk ke dalam klasifikasi garam industri.

Persyaratan untuk melakukan impor garam konsumsi dinilai sudah  ketat mengingat harus dirapatkan lintas kementerian. Importirnya juga harus memiliki IP (Importir Produsen) untuk dapat mengimpor garam konsumsi. Mereka yang diijinkan mengimpor garam konsumsi diantaranya industri penyedap rasa atau MSG.

“Jadi 2013 itu ada gap 1.2 juta ton, pertanyaan kita mau memenuhinya  dari mana. Tahun 2009 itu Kementerian Perindustrian menyatakan garam konsumsi adalah garam untuk kebutuhan rumah tangga, aneka industri dan ikan asin. Ini kan belum diubah peraturannya. Kenapa industri aneka pangan jadi masuknya ke konsumsi. Harusnya peraturan ditegakkan,” tutur Sudirman.

Senada dengan, Manager Marketing PT Garam Ismail Muda Nasution menilai industri aneka pangan menjadi jalan masuknya impor garam yang akhirnya merembes ke pasar garam konsumsi. Untuk itu, Permendag Nomor 58 tahun 2012 tentang aturan impor garam perlu dibenahi. Ismail menyebut pemerintah masih setengah hati dalam menertibkan impor garam industri aneka pangan karena hingga kini regulasi impor garam dinilai masih tidak jelas.

“Kalau ada masalah selalu PT Garam yang disalahkan. Padahal kita pernah protes ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan karena ada 5 perusahan besar yang  diistimewakan hak impornya. Mereka (Importir Produsen) hanya di larang impor satu bulan sebelum panen, saat panen dan dua bulan setelah panen tanpa ada kewajiban menyerap garam rakyat. Ini yang salah,” tuturnya.

Ismail mengaku PT Garam pada dasarnya mendukung 32 ribu petani garam rakyat. Pihaknya mengaku siap membeli jika saja Pemerintah mempercayai PT Garam sebagai pemegang stok nasional. “Sebelum tahun 1993 pemerintah pernah memberi dana agar kita menyerap garam rakyat tapi sekarang itu dihilangkan. Untuk membeli 1 juta ton garam itu dibutuhkan 400 miliar, kita tidak punya segitu,” tuutrnya.

Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Herman Khaeron menyoroti minimnya persediaan gudang untuk menyimpan garam. Ia mengatakan pada saat panen garam melimpah tetapi tidak bisa disimpan semua di dalam gudang, sehingga para petani garam tidak ada cara lain selain menjual garam dengan harga murah. “Kalau PT Garam bisa membeli saja hasil garam petani yang tersisa, masalah pergudangan selesai,” ucapnya.

Herman menilai pemerintah perlu mempertegas terminologi garam industri. Aneka pangan harus masuk dalam kategori garam industri agar dapat menyerap garam rakyat. “Jadi regulasinya harus direvisi, kalau ada problem kultural non teknis (antar kelembagaan) juga harap diselesaikan,” tutur Herman.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai nasib petani garam kian terhimpit akibat persoalan produksi, distribusi, dan teknologi dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani.

Kekacauan kebijakan tata niaga garam terus memukul harga garam petani. Hal ini nampak pada tidak terlaksananya harga patokan pemerintah (HPP) di lapangan.

“Harga garam petani terus ditekan pengepul. Perdagangan garam masih dikuasai kartel sehingga petani tak berdaya dalam menentukan harga jual. Akibatnya, produktivitas rendah,” tutur Sri.

Sementara itu, PT Garam sebagai satu-satunya BUMN dinilai cenderung menjadi kompetitor bagi petani dalam memproduksi garam konsumsi. PT Garam yang menguasai lahan dan kelengkapan teknologi seharusnya fokus memproduksi garam industri dengan kualitas tinggi. (*/agm)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim