Antisipasi Kemarau, Warga Tampung Air Hujan

ilustrasi: kompas.com

Musim hujan tidak disia-siakan oleh 200 kepala keluarga di Dusun Kotalon, Desa Jarim, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Jawa Timur.

Mereka mulai menampung air hujan sejak awal musim untuk mengantisipasi kekurangan air saat musim kemarau tiba. Penampungan air yang mereka gunakan bermacam-macam. Mulai dari sumur, kolam, hingga jeriken.

Setiap kali hujan, semua penampungan itu tidak pernah kosong. Air yang sudah tertampung mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Mulai dari minum, memasak, mencuci, hingga kebutuhan lainnya.

Air hujan menjadi satu-satunya air kehidupan bagi mereka. Pasalnya, tidak ada sumber air yang bisa mereka nikmati, kecuali dengan cara membeli.

Muhamamd Hafi, salah satu warga yang menampung air hujan, menuturkan, sumur di depan rumahnya dibuat khusus untuk penampungan air hujan, bukan semata-mata untuk mencari sumber air.

Semua air hujan yang berasal dari atap rumahnya dimasukkan ke dalam sumur tersebut. “Kalau ditampung di dalam sumur, air hujan itu kemudian menjadi tawar dan tidak terasa seperti air hujan lagi,” kata Muhammad Hafi saat ditemui di rumahnya.

Air yang ditampung di sumur itu digunakan untuk kebutuhan memasak dan minum, sementara untuk kebutuhan mandi dan mencuci, pria yang juga guru ngaji ini membuat tempat penampungan khusus dari terpal plastik berukuran 4 x 3 meter.

“Kalau untuk mandi dan mencuci tidak butuh air tawar dan kami buat tempat khusus yang ukurannya lebih luas,” ujarnya.

Air yang sudah tertampung selama lebih kurang lima bulan lamanya itu oleh warga digunakan setiap hari. Air itu juga bisa mencukupi sampai dua bulan lamanya saat musim kemarau tiba.

“Kalau awal musim kemarau kita masih punya persediaan yang cukup. Namun, ketika sudah puncaknya kemarau, kami terpaksa harus membeli dengan menggunakan mobil tangki,” ungkap Muhamamd Hafi.

Harga per tangki ukuran 5.000 liter Rp. 100.000. Harga tersebut dianggap lebih mahal jika dibandingkan dengan harga beras.

Air yang dibeli itu hanya cukup untuk digunakan selama 10 hari, dengan jumlah anggota keluarga lima orang. Di dusun ini air sebetulnya bisa diperoleh dengan menggunakan pipa paralon.

Namun, jaraknya sampai 3 kilometer dari dusun sebelah, dengan cara disedot menggunakan mesin pompa listrik. “Kalau sedot pakai mesin, biaya listriknya sama-sama mahal,” ungkapnya.

Tandon air bantuan pemerintah belum berfungsi maksimal sebab hanya berfungsi saat puncak kemaru. Itupun dua hari sekali tandon itu diisi oleh pemerintah.

Warga di dusun yang paling sulit air ini sebetulnya bisa menggali sumur dan menemukan sumber air. Namun, sumber air yang keluar rasanya asin. “Semakin digali, rasa airnya semakin asin, bahkan karena asinnya sampai pahit rasanya,” paparnya. kompas.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim