Melimpahnya produksi gas di wilayah Madura ternyata tidak bisa sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Pulau Garam. Termasuk untuk kebutuhan listrik di kawasan tersebut. Hingga kini, pulau yang didiami oleh lebih dari 20 juta jiwa masih kekurangan pasokan listrik.
Sebut saja jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), jembatan yang diklaim sebagai pintu gerbang masuk ke wilayah pulau garam tersebut nyatanya sejauh ini belum memberikan kontribusi pasokan listrik sebagai penerangan secara maksimal.
“Saat ini, daya listrik yang tersedia untuk kawasan jembatan Suramadu baru sebesar 100 megawatt, sementara proyeksi untuk kebutuhan ke depan sampai tahun 2014 mencapai 700 megawatt, untuk itu kami terus berupaya untuk meningkatkan pasokan listrik tersebut dengan menggandeng PLN ”ungkap Kepala Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS), Moh Irian, kepada Surabaya Post, akhir pekan lalu.
Defisit listrik ini, tambah dia, tentulah harus segera diatasi, dalam kaitan akselarasi atau percepatan pembangunan kawasan Suramadu.
Sementara itu, dikonfirmasi di tempat terpisah Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Kontraktor Listrik Nasional (Aklinas) Jawa Timur, Arda Netaji mengungkapkan, sejauh ini pasokan listrik ke Madura memang masih tergantung dengan listrik di jaringan Jawa Bali melalui kabel listrik yang melewati Selat Madura dan dari kabel listrik yang ditanam di bawah Jembatan Suramadu.
“Harusnya potensi tersebut bisa dinikmati masyarakat di sana, minimal untuk penerangan. Akibatnya, masyarakat Madura sering mengalami pemadaman ketika terjadi masalah dengan jaringan listriknya,” ungkapnya
Selanjutnya, tambah Arda, beberapa kali listrik Madura padam dalam waktu yang cukup lama akibat kabel listrik bawah laut tersangkut kapal. Sementara rasio elektrifikasi di beberapa daerah pelosok di Madura juga rendah, ini berarti, di beberapa daerah pelosok juga masih belum teraliri listrik.
Arda mengatakan, Ada banyak daerah yang memiliki potensi energi tidak sejalan dengan pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik yang ditetapkan pemerintah.
Selain Madura, kasus di Mamuju Sulawesi Barat umpamanya, pemerintah mengembangkan energi listrik dengan membangun pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga batubara yang dikirim dari berbagai daerah dengan jarak yang cukup jauh sehingga biaya transportasinya cukup mahal. Padahal cadangan air disana mencapai sangat melimpah, jika dihitung potensi listriknya bisa mencapai 200 MW.
“Namun justru yang dibangun adalah pembangkit listrik bertenaga batu bara dan bukannya pembangit listrik tenaga air (PLTA), ini kan mubazir dan tidak efisien,” ujarnya. “Hal ini terkadi akibat belum dilakukannya audit energi secara nasional oleh pemerintah. Padahal audit energi ini menjadi sebuah keniscayaan bangsa yang ingin maju,” ungkapnya.
Kemudian, kata Arda, yang menyesakkan baginya adalah selama ini seluruh produksi migas dari Madura diangkut ke Grati Pasuruan untuk diolah di sana. Kalau pun Madura ingin membeli, harus dikirim lagi dari sana. “Coba Kalau di Madura ada pengolahannya, 4 juta kaki kubik (million metric standard cubic feet per day/mmscfd) dapat dieksplorasi lebih dalam lagi disana dan pemanfaatannya bisa dibuat pembangkit tenaga listrik, bila aliran listrik lancar di sana niscaya akan meningkatkan perekonomian di Madura sendiri,” pungkasnya. surabayapost online