Pertumbuhan Ekonomi Dinilai Masih Semu

ilustrasi: indocashregister.com

Kinerja perekonomian dinilai masih semu. Ekonomi memang tumbuh, namun kurang berkualitas karena tak diiringi pemerataan. Kue ekonomi hanya dinikmati oleh kelas menengah. Indonesia butuh strategi untuk keluar dari jebakan kelas menengah dengan fokus pada pembangunan industri dan pertanian.

Demikian intisari pendapat dari sejumlah ekonom yang dihubungi kabarbisnis.com secara terpisah, Selasa (7/6/2011).

Ekonom Indef, Aviliani, menuturkan, benar bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia naik ke level US$3.000 dollar AS atau Rp27 juta per tahun pada 2010. Namun, hal itu tidak serta merta menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

“Sebab, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya ditopang oleh gerak ekonomi segelintir kelompok saja. Artinya, ini tidak dirasakan secara luas oleh masyarakat. Sejak 2008 perekonomian kita bergerak seperti gelembung dan hanya booming di pasar keuangan dan jasa,” ujar Aviliani.

Salah satu indikasi nyata kesenjangan, kata dia, adalah komposisi kepemilikan rekening masyarakat di industri perbankan nasional. Sekitar 50% dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya dimiliki tak sampai 1% pihak. Adapun sisanya baru disumbang oleh 99% kelompok masyarakat. Hal tersebut menunjukkan betapa timpangnya perekonomian.

“Jumlah penduduk miskin juga tidak berkurang signifikan, masih berkisar 36 juta, sedangkan penduduk setengah miskin masih 30 juta orang,” jelas dia.

Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi baru bisa dikatakan berkualitas jika diiringi dengan pemerataan. Tanpa pemerataan, kue ekonomi hanya akan diraup oleh segelintir kelompok. “Fungsi pemerintah adalah melakukan intervensi untuk melakukan redistribusi pendapatan, memastikan perekonomian bisa dinikmati oleh semua kelompok,” ujarnya.

Bias ke sektor jasa

Ekonom Faisal Basri menuturkan, pembangunan ekonomi kian bias hanya ke sektor jasa yang merupakan sektor nontradable, sektor dengan penyerapan tenaga kerja minim. Adapun sektor pertanian dan industri, yang menyerap sekitar 52% angkatan kerja, justru tak diperhatikan serius. Hal ini berkonsekuensi pada penurunan angka pengangguran dan kemiskinan.

“Kesenjangan pola pertumbuhan sangat jelas di mana sektor nontradable tumbuh 8,5% dan tradable tinggal 3,8%. Buktinya bisa kita cek pada konsumsi listrik, gas, dan air minum yang anjlok karena tidak ada pertumbuhan dan kapasitas listrik semakin terbatas. Pemerintah perlu fokus membangun sektor industri dan pertanian yang terintegrasi,” jelas Faisal.

Kesenjangan ekonomi, sebagai cermin ketidakadilan, masih tak banyak berubah. Data BPS menyebutkan Rasio Gini hanya turun 0,12 selama lima tahun terakhir. Rasio Gini 2010 tercatat 0,331, sedangkan pada 2005 sebesar 0,343. Perbaikan kesenjangan hanya terjadi di perkotaan (0,362 pada 2009 menjadi 0,352 pada 2010). Sebaliknya, kesenjangan masyarakat perdesaan semakin besar dengan indikator Rasio Gini naik dari 0,288 menjadi 0,297.

Secara spasial, ketidakadilan begitu mencolok karena sumberdaya ekonomi terpusat dan tersedot di Pulau Jawa. Daerah-daerah yang sumberdaya alamnya dikuras justru berperan minim dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa menyumbang 58 persen dalam pembentukan PDB, dan sisanya baru berasal dari daerah-daerah lain. kabarbisnis.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim