Ini Negeri Asing

Ilustrasi: dukungan pangan lokal dari Aliansi Masyarakat untuk Desa Sejahtera.

Barang impor merajalela. Tidak hanya marak di supermarket yang memang punya asing, tetapi juga sampai di penjual kaki lima. Akibat itu, maka dapur dan kulkas, dari kelas bawah hingga atas, semuanya asing.

Kita tidak menyangka produk asing begitu cepat menguasai kehidupan kita. Kita juga tidak mengira, betapa perdagangan bebas dunia, perdagangan bebas dengan China, bak virus yang membuat kita tidak berdaya.

Naga-naganya, tahun depan, ketika hal sama efektif berlaku untuk masyarakat Asean, kita akan kian terpuruk. Negeri ini amatlah kaya. Negeri ini juga amat luas. Bangsa ini tidak bodoh-bodoh amat kok.

Itu tampak dari puluhan tahun lalu, negeri-negeri, terutama di Asean, banyak belajar dari Indonesia. Tapi mengapa mereka mampu hidup dalam kecukupan. Bahkan yang dilanda konflik pun seperti Thailand masih bisa perkasa dibanding kita?

Kalau kita telaah, itu ternyata karena negara ‘tidak ada’. Negara ini seperti tidak punya pemimpin. Menjadi pasar bebas buat bangsa lain, buat produk-produk mereka, dan buat segala kepentingan asing.

Maka dari benih sampai produk pangan jadi semuanya melibatkan asing. Tidak ada keterlibatan pemerintah. Kalau ada harusnya pemerintah berpihak pada rakyat. Tidak selalu melihat asing superior dan meminorkan kemampuan rakyat yang sudah berabad-abad teruji kemampuan dan kemandiriannya.

Lihat di Sulawesi. Ulat sutra yang diimpor dari China, perlu mendatangkan ahli dari Negeri Tirai Bambu itu untuk melatih. Lihat di desa-desa di Pulau Jawa, benih unggul lokal diganti benih impor, dipupuk dengan pupuk impor, yang dari tahun ke tahun menanduskan lahan yang ada.

Lihat pula petani Jogja yang menangkar benih sendiri akhirnya terpenjara, dipenjarakan perusahaan asing di negerinya sendiri. Ini semakin diperparah, karena penyuluh pertanian sendiri kini juga jadi ‘blantik asing’. Mereka adalah agen-agen produk asing, dari pupuk hingga pestisida (saprotan).

Sisi lain, sawit yang memberi devisa tertinggi di sektor perkebunan, harus dihajar dengan moratorium yang terus diperpanjang. Rakyat negeri ini dipaksa bersatu dengan orang hutan, hidup di hutan, hanya dengan dana tak jelas dari Norwegia yang hanya 1 miliar USD.

Pemimpin kita perlu dicuci otaknya, agar paham, teknologi telah memberi solusi itu. Jangan picik, melihat kehidupan masa depan seperti masalalu. Celakanya, presiden merasa berhasil. Ini ironi.

Sekarang, menteri-menteri kabinet SBY banyak yang masuk bui. Itu patut diduga, banjir produk impor ini adalah bagian dari itu. Korupsi kebijakan yang menghancurkanrakyat dan negara ini.

Ah, betapa berat tugas presiden mendatang!

*) Djoko Su’ud Sukahar

Komentar Pembaca

  1. Semoga siapapun presiden yg terpilih besok bisa menuntaskan segala kemelut persoalan bangsa ini.. Amin..

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim