Mengerem Laju Konversi Lahan Pertanian

Ilustrasi

Beragam kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mendorong ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan. Termasuk memberikan insentif dan perlindungan, atau melarang konversi lahan pertanian produktif. Tujuannya jelas, agar lahan pertanian tidak terus menerus berkurang. Jika berkurang, tentu berpengaruh langsung pada ketersediaan pangan.

Namun, larangan konversi lahan pertanian tampaknya tidak berjalan sesuai rencana. Meskipun sudah diatur dalam peraturan perundangan, larangan konversi lahan tetap sukar dijalankan. Lahan pertanian tetap saja berubah menjadi kompleks perumahan, mal, atau pun lokasi gedung perkantoran. Pemerintah daerah, utamanya kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah di daerah, juga lebih memilih memberikan lahannya untuk proyek-proyek yang lebih menguntungkan APBD ketimbang untuk lahan pertanian.

Tidak heran kalau hasil audit Kementerian Pertanian 2012 menunjukkan, total luas sawah nasional hanya mencapai 8,1 juta hektare. Kementerian Pertanian pun cuma bisa mencetak sawah baru seluas 330 ribu hektare selama 2006-2013 atau seluas 40 ribu hektare setiap tahunnya. Kemampuan cetak sawah oleh pemerintah belum bisa menyamai laju konversi lahan sawah selama periode tersebut, seluas 100 ribu hektare per tahun.

Ketiadaan aturan

Penyebabnya, tidak semua daerah memiliki aturan penataan ruang dan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Andai ada peraturan daerah (Perda) tentang kedua hal itu, maka akan jelas peruntukan setiap kawasan. Apalagi, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, berikut turunannya PP No 1 Tahun 2011, telah menyatakan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai kawasan strategis nasional.

Data Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menunjukkan, sampai akhir Oktober 2013, baru ada 17 provinsi atau 51,52 persen yang sudah membuat Perda tata ruang, sisanya 16 provinsi atau 48,48 persen sudah mendapat persetujuan substansi Menteri PU dan sedang proses penetapan Perda.

Sedangkan, untuk kabupaten/kota, dari 491 kabupaten/kota yang sudah membuat Perda, ada 314 kabupaten/kota atau 63,95 persen yang sudah kelar membuat Perda, sisanya 172 kabupaten/kota atau 35,03 persen baru mendapat persetujuan substansi Menteri PU dan sedang proses penetapan Perda, serta 5 kabupaten/kota baru dalam proses persetujuan substansi Menteri PU.

Akibatnya, pembangunan di daerah tidak terkendali dan terus menggerus lahan pertanian. Padahal, hingga 2030 Indonesia masih membutuhkan tiga juta hektare lahan pertanian. Tetapi, hingga kini, penambahan lahan hanya berkisar 30 ribu s.d 40 ribu hektare. Malahan, menurut Kementerian Pertanian, lahan pertanian padi seluas 2 juta hektare terancam hilang dalam beberapa tahun ke depan karena dikonversi untuk kepentingan nonpertanian.

Celakanya, konversi lahan juga “dilegalkan” oleh pemerintah pusat. Misalnya, di utara Karawang terjadi konversi persawahan seluas 60 hektare karena pembangunan pelabuhan Cilamaya berserta jalan penghubungnya. Pembangunan pelabuhan itu merupakan program pemerintah pusat dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Sedangkan, di selatan Karawang, banyak pembangunan perumahan dan pabrik yang dilegalkan pemerintah daerah.

Dengan begitu, persoalan konversi lahan pertanian ternyata bukan hanya monopoli pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat juga turut andil. Oleh karenanya, diperlukan kemauan politik yang kuat pada semua tingkat pemerintahan untuk mengerem laju konversi lahan tersebut. Tidak boleh pemerintah pusat hanya menyalahkan pemerintah daerah, pemerintah daerah pun wajib menyisakan sebagian lahannya untuk pertanian berkelanjutan.

Selain itu, percepatan pembuatan Perda tata ruang dan wilayah, serta perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, mesti dilakukan oleh pemerintah daerah, utamanya kabupaten/kota. Sebab, hanya pemerintah kabupaten/kota yang memunyai wilayah, bukan pemerintah provinsi. Dengan kata lain, Perda tata ruang dan Perda perlindungan lahan pertanian berkelanjutan harus dibuat oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Peran Gubernur

Setelah itu, pemerintah provinsi melalui Gubernur berkewajiban mengoordinasikan, membina, mengawasi, mengevaluasi, dan memastikan Perda yang dibuat pemerintah kabupaten/kota tetap sinkron dengan Perda yang dibuat pemerintah provinsi dan pelbagai peraturan di atasnya, seperti yang diamanatkan PP No 79 Tahun 2005 dan PP No 23 Tahun 2011 yang menjadi derivasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Gubernur pun harus diberi kewenangan mengevaluasi dan membatalkan Perda kabupaten/kota yang tidak sesuai dengan peraturan di atasnya. Pembatalan itu bersifat final dan mengikat. Artinya, pembatalan Perda tidak bisa dipersoalkan lagi oleh pemerintah kabupaten/kota pembuatnya.

Jangan sampai seperti yang terjadi di Jawa Barat (Jabar). Sebagai contoh, di sana, alih fungsi lahan pertanian cukup tinggi, yaitu 3.000 hektare per tahun. Padahal, Pemerintah Provinsi Jabar sudah mengeluarkan Perda No 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jabar Tahun 2009-2029 dan Perda No 27 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Namun, kedua Perda itu tidak berjalan efektif alias mandul. Di Kabupaten Karawang, misalnya, jangankan terjadi sinkronisasi antara penataan ruang dan lahan pertanian yang dibuat provinsi dan kabupaten. Kabupaten Karawang sendiri malah belum memiliki dan menetapkan luas lahan pertanian yang harus dipertahankan dalam bentuk Perda.

Impaknya, Kabupaten Karawang mengalami alih fungsi lahan pertanian sebesar 317,10 hektare selama sepuluh tahun terakhir ini. Pemerintah Provinsi Jabar pun hanya bisa menjadi penonton tanpa bisa berbuat apa-apa. (Moh Ilham A Hamudy)

3 Komentar Pembaca

  1. infonya sangat menarik. bagaimana cara kami bisa mendapatkan hasil publikasin atau data-data yang terkait dengan luasan lahan pertanian dalam kurun waktu 5 tahun pada setiap kota/ kab di jatim. karena kami ingin melakukan kajian terhadap permasalahan diatas.
    terima kasih

  2. mohon maaf sebelumnya, kami ingin melakukan penelitian terkait konversi lahan di jawa timur, apa kami bisa mendapatkan data data nya? jikalau bisa bagaimana? terimakasih

  3. Kami sangat mendukung dan peduli…, terhadap ketersediaan lahan pertanian,
    Mohon landasan atau payung hukum, mengenai rencana kami yg akan melakukan kegiatan program cetak sawah , dengan merubah lahan yang tadinya kurang produktif menjadi lahan yang produktif (sawah )
    Atas perhatian nya kami sampaikan terima kasih

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim