Industri Biofuel: Dari Eforia kini Jadi Trauma

ilustrasi: bbc Indonesia

Pengusaha bahan bakar alternatif merasa jadi korban pemerintah yang tak jelas menyiapkan program pengembangan sumber energi alternatif. Setelah enam tahun diluncurkan, pengusaha menilai industri bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia kini menghadapi masa tersulitnya.

“Tahun lalu sudah sekarat, sekarang sudah tinggal matinya,” kata produsen bioethanol Setyo Budi, dari Tulung Agung, Jawa Timur dengan getir.

Setyo, anggota Asosiasi Pengusaha Bioethanol Indonesia APBI, memperkirakan di Jawa Timur saja terdapat ratusan orang yang terpaksa alih profesi karena usaha bioethanol mereka gagal.

“Sudah rugi miliaran rupiah, sekarang terpaksa cari kerja lain supaya bisa tetap makan,” tambahnya. Tahun 2008 saat harga minyak dunia menyentuh rekor baru US$139 per barrel, Setyo Budi cukup optimistis. Ia merasa, keputusannya untuk turut terjun ke dunia produksi bioethanol, meski hanya skala rumahan, mendapat satu lagi pembenaran.

“Harga minyak sampai US$150 kan pasti sulit dijangkau keuangan Negara kita,” katanya beralasan. Dua tahun sebelumnya, harga minyak dunia yang fluktuatif dan sensitif terhadap berbagai isu dunia mulai bencana alam sampai perang Timur Tengah, memaksa pemerintah mencari akal menemukan sumber energi lain.

Lalu pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden ditambah berbagai peraturan penunjang lain untuk mendorong munculnya industri sumber energi alternatif termasuk BBN.

Setahun setelah itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mencanangkan pembangunan Desa Mandiri Energi, sebuah konsep dimana sebuah desa dikelola dengan menciptakan sumber energinya sendiri yang berasal dari berbagai bahan yang dapat diperoleh di desa-desa.

Prospek ini lah yang mendorong Setyo serta ratusan peminat lain di Jawa Timur, mulai mengusahakan produksi bioethanol dari molasses (sari tetes tebu). ”Kapok, trauma, sudah lah. Kami ditipu, dibohongi” Setyo Budi

Sementara Indra Lubis dan kawan-kawan di Jawa Barat, memilih bertanam jarak pagar (Jatropha curcas) dengan luas mencapai 1.200 hektar di Garut.
“Waktu itu semangat sekali,” kata purnawirawan TNI Angkatan Udara ini. Tetapi baik Indra maupun Setyo Budi, akhirnya menyerah. Ternyata hasil jadi produk mereka tak ada yang membeli. Mekanisme yang dijanjikan pemerintah tidak berjalan.

“Kapok, trauma, sudah lah. Kami ditipu, dibohongi,” seru Setyo Budi lesu.

“Sudah susah payah meyakinkan petani supaya mau tanam, ternyata sekarang biji jaraknya tak ada yang beli, kami dikejar-kejar petani,” tambah Indra pahit.

‘Sekarat’

Dalam Peraturan Presiden No.5/2006, disebutkan sasaran kebijakan energi nasional bertujuan mencapai bauran energi optimal 2025 dimana ‘peranan energi nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%’ (dari total bauran energi atau sekitar 20-25% campuran pembentuk BBM saat ini).

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, pemerintah menurut Perpres tersebut menjanjikan pengembangan infrastruktur, kemitraan dengan dunia usaha, pemberdayaan masyarakat dan dukungan penelitian.

Kenyataan di lapangan menurut Supriyanto, Ketua APBI, sama sekali berbeda. “Perpres itu bukan produk hukum, karena kalau produk hukum kan pasti mengikat, iya to,” seru ahli pertanian ini.

BBN juga sudah dipakai sebagai sumber energi pesawat dan kapal perang pengangkut nuklir. Aturan lain mengenai kewajiban pemasok BBM untuk masyarakat (seperti Pertamina dan pemegang hak jual BBM lain di Indonesia) agar menjual BBM bermuatan biofuel terutama dari bioethanol, menurut Supri gagal dilaksanakan. Begitu pula janji memberikan harga yang ekonomis dan insentif lain.

“Saya lihat itu lebih mirip produk sastra daripada produk hukum,” tambah Supriyanto tertawa getir. Dalam bayangan pengusaha, bioethanol yang mereka hasilkan akan diterima oleh Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai pembeli siaga (off taker).
Dengan bahan baku melimpah, mulai dari tetes tebu, singkong, jagung, sorgum, nanas, hingga nira aren, proses pengolahan bioethanol tidak terlalu sulit.

Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan alat sederhan dan mesin yang bisa diperoleh dengan mudah lewat pemasok atau internet, petani sudah bisa memperoleh ethanol kadar 90 persen.

“Lha tetapi Pertamina mintanya kadar 99,9%, mana kita mampu?”, kata Setyo Budi tentang pengalamannya. Ethanol 99,8% – 99,9% adalah kadar tertinggi dimana proses distilasi (penyulingan) berjalan sempurna sehingga menghasilkan ethanol tanpa kadar air sama sekali. Ini kadar yang paling ideal untuk bahan bakar karena unsur air akan menimbulkan karat (korosi) pada mesin kendaraan.
“Pertamina dong yang harusnya buat kilang refinery untuk menampung bioethanol petani,” tuntutnya.

Kadar tinggi ethanol BBN menurut pengusaha kecil hanya bisa dipenuhi pabrik skala besar. “Yang mampu memasok kadar segitu (9,9%) ya cuma perusahaan besar yang punya pabrik canggih, bukan skala rumahan,” tambah Supriyanto, Ketua APBI.

Supri menghitung tak lebih dari lima perusahaan ethanol besar di Indonesia, yang mampu memasok jenis ethanol semacam ini.
Tetapi ethanol sebenarnya sangat multi fungsi, mulai dari zat kimia pencampur yang efetif untuk industri parfum dan kosmetik, obat dan makanan, ethanol juga dapat menggantikan peran gas untuk bahan baker kompor dan bahkan diklaim sanggup menyalakan roket keluar angkasa.

Pada kenyataannya, ethanol non-BBM juga nyaris tak bisa dipasarkan. Kompor ethanol kalah bersaing dengan gas Elpiji karena mata rantai pasokan ethanol dan kompor yang tak jelas. Yang belakangan baru disadari pengusaha juga keterkaitan ethanol dengan produk alkohol, sehingga pengusaha juga harus mengantongi izin usaha yang cukup rumit pengurusanya.

“Pelaku usaha baru tahu kalo ethanol masuk unsur alkohol, maklum orang daerah,” kata Setyo.

Penjualan ethanol juga dikenai cukai, lagi-lagi karena dikaitkan dengan produksi alkohol yang terlarang, atau pengusaha bisa diciduk aparat dan kena denda dua kali lipat.

“Maka (karena) sudah terlanjur buat pabrik dan produksi, tahun 2010 sudah mulai sekarat kami,” tambah Setyo. Niat membangun pabrik lebih besar pun diurungkan sementara setahun berikutnya ratusan pengusaha tutup.

Rantai yang hilang

Pemerintah memang tak cermat menyiapkan industri bioenergi, setidaknya untuk kasus jarak dan bioethanol, kata mantan Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementrian ESDM, Kardaya Warnika.

“Coba, urusan menanam tebu atau singkong kan bukan domain kami, itu wilayah (Kementrian) Pertanian. Urusan koperasinya juga ada di tempat lain, begitu juga skala industrinya di (Kementrian) Perindustrian, dan seterusnya,” Kardaya Warnika

“Ada mata rantai yang hilang. Misalnya dari petani sampai ke Pertamina itu bagaimana? Tidak mungkin kan perusahaan multinasional (dengan) aset triliuan beitu disuruh ngurus minyak bioethanol puluhan liter,” kata Kardaya yang belum genap dua bulan pensiun.

Pihaknya telah mengusulkan agar dibentuk lembaga perantara untuk menampung hasil produksi pengusaha untuk menyaring kadar dan kualitas sebelum dipasok pada Pertamina.

“Usulan kami sih semacam koperasi dan itu sudah kita bicarakan dengan Kementrian Koperasi dan UKM,” kata Kardaya sambil menambahkan tak tahu lagi bagaimana respon Kementrian Koperasi dan UKM setelah dirinya tak lagi berdinas.

Koordinasi lintas kementrian semacam ini, menurutnya juga menjadi salah satu persoalan mendasar dalam skema BBN nasional.
“Coba, urusan menanam tebu atau singkong kan bukan domain kami, itu wilayah (Kementrian) Pertanian. Urusan koperasinya juga ada di tempat lain, begitu juga skala industrinya di (Kementrian) Perindustrian, dan seterusnya,” tambah mantan Kepala BP Migas ini.

Brazil dianggap berhasil mengelola industri BBN karena punya badan penyangga untuk biofuel. Persoalan lain yang tak kalah mendesak, menurut Kardaya adalah perlunya Badan penyangga khusus untuk memastikan target pencapaian bioenergi terpenuhi.
Dia mencontohkan untuk listrik pemerintah memiliki BUMN seperti PLN, sementara untuk memastikan tata kelola beras pemerintah membentuk Bulog.

“Untuk biofuel kalau mau serius juga harus begitu kan. Brazil punya, Thailand juga, Filipina sudah maju sekali, apalagi Malaysia.”
Semua bentuk usulan ini menurut Kardaya telah disampaikan dan dibahas ditingkat Menteri dan lintas kementrian. “Jadi terakhir memang tinggal satu: pemerintah serius atau tidak.”

Masih berpeluang

Kabar cukup buruk sempat pula dirilis penguasaha Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia yang menyebut tahun ini sebagai ‘masa terburuk’ industri BBN.

Para produsen biodiesel, berbahan kelapa sawit untuk campuran BBM jenis solar atau diesel ini, mempertanyakan janji pemerintah yang hendak membeli produksi mereka, menyesuaikan harga dan menyiapkan infrastruktur diluar Jawa, Bali, Madura seperti dijanjikan sebelumnya.

“Kalau harganya sudah ketemu, menguntungkan, pasti industri bergairah lagi” ,Paulus Tjakrawan

Belakangan menurut Bendahara Aprobi, Paulus Tjakrawan, industri bioediesel diyakini cerah karena pemerintah dengan mengumpulkan seluruh pengampu kepentingan tengah menyusun indeks keekonomian harga. ”Kalau harganya sudah ketemu, menguntungkan, pasti industri bergairah lagi,” kata Paulus optimistis.

Paulus juga meyakini meski banyak persoalan, kebijakan yang ramah pasar saja sudah pasti akan menarik para pemain baru.
“Sudah pasti itu, for sure pemain baru akan muncul kan negeri kita ini sangat kaya kelapa sawit.” ”Karena sesungguhnya potensi negara kita untuk bioethanol ini kan sangat besar, segala bahan tersedia disini” Supriyanto

Meski mengherankan, nampaknya harapan juga masih disimpan sejumlah kalangan praktisi bioethanol. Seorang praktisi bioethanol di jawa Timur mengatakan mendapat order sebagai penasihat dalam pembangunan sebuah pabrik baru berkapasitas 100 kilo liter per hari milik PTPN X Jawa Timur, sementara di Jawa Tengah PTPN IX juga merencanakan pembangunan pabrik yang sama. Ketua APBI Supriyanto juga mengaku tengah membantu pembangunan sebuah pabrik bioethanol baru yang akan berdiri di Serang, Banten.

“Karena sesungguhnya potensi negara kita untuk bioethanol ini kan sangat besar, segala bahan tersedia disini,” kata Supriyanto beralasan.

Dengan beberapa modifikasi kebijakan dan realisasi janji pemerintah sebelumnya, ia yakin pasar industri BBN di Indonesia bisa sangat cerah.

“Apalagi karena pasar ekspor terbuka, cuma tolong perbaiki infrastruktur dan perizinannya dulu.”

Tetapi Indra Lubis, kini 63 tahun, merasa kalau pun pemerintah membenahi tata kelola industri BBN, situasi sudah jauh terlambat.
“Mau gimana lagi, penerasi yang kami harapkan jadi penerus terlanjur habis lari ke bidang lain.”

(Sumber: BBC Indonesia)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim