Petani tak Lirik Tebu, Defisit Gula Kian Menghantui

ilustrasi: kabarbisnis.com

Tidak seperti beberapa tahun silam, budidaya tebu saat ini tidak menarik bagi petani. Hal ini disebabkan makin tingginya biaya produksi serta panjangnya masa tanam. Tidak seperti beberapa komoditas seperti tembakau, bawang, cabai, atau jagung yang bisa panen dalam jangka waktu sekitar empat bulan. Kondisi tersebut mengancam capaian target swasembada gula pada 2014. Defisit gula terus membayangi Indonesia.

“Biaya produksi budidaya tebu khususnya di lahan sawah berpengairan teknis saat ini memang kian mahal. Kondisi tersebut dipicu oleh naiknya berbagai komponen, seperti sewa lahan, pupuk dan pembibitan tebu,” ujar Ketua Kompartemen Manajemen Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Adig Suwandi.

Sewa lahan umpamanya saat ini di beberapa wilayah sudah berkisar Rp20 juta per hektar. Padahal dulu harga sewa hanya sekistar Rp15 juta hingga Rp16 juta di lahan yang sama. Tingginya biaya sewa tersebut akibat ketatnya kompetisi dalam pengunaan lahan.

“Makin banyak komoditas agribisnis yang menjanjikan pendapatan dan profit lebih baik disertai umur lebih pendek,” ujarnya.

Beberapa komoditas agribisnis tersebut di antaranya adalah komoditas kedelai, tembakau, semangka, cabai, dan jagung yang secara relatif hanya memerlukan waktu sekitar empat bulan. “Setidaknya lebih cepat dibanding tebu yang harus dikelola selama setahun,” tegas Adig.

Sementara biaya pembibitan juga makin mahal. Kalau dulu biaya pembibitan mencapai Rp2 juta hingga Rp2,5 juta, sekarang sudah naik dikisaran Rp3 juta hingga Rp3,5 juta.

Mahalnya biaya sewa lahan dan pembibitan ini juga diperberat dengan biaya pupuk, dimana petani biasanya memberikan pupuk lebih banyak dibanding takarannya karena berharap produksi akan semakin baik.

“Inilah beberapa faktor di sisi on farm yang menjadikan budidaya tebu tak memiliki daya saing tinggi terhadap berbagai komoditas pertanian lain,” ujar Adig.

Agar tebu memiliki daya saing, maka menurut Adig harus dilakukan berbagai hal, mulai dari level on farm (budidaya) hingga level off farm (pabrik). Pada level on farm, dilakukan introduksi varietas unggul baru sesuai kondisi agroekoisistem setempat, percepatan pembibitan dengan single buds atau buds chip kecukupan agro-inputs, penerapan praktek budidaya terbaik (best agricultural practices), dan perbaikan manajemen tebang-angkut yang menunjang keberhasilan pascapanen.

“Sementara pada level off farm, upaya sistematis lebih diarahkan peningkatan efisiiensi pengolahan dan energi, pengelolaan limbah secara terpadu, optimalisasi dan sinkronisasi peralatan, dan peningkatan mutu produk,” katanya. kabarbisnis.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim