Problem defisit gas yang terjadi di Indonesia, khususnya Jawa Timur, terus terjadi. Kondisi ini ditengarai banyaknya volume gas yang diekspor oleh perusahaan yang mengelola sumur gas di wilayah ini.
General Manager PT Perusahaan Gas Negara (PGN) SBU 2 Cahyo Triyogo mengatakan, saat ini gas masih lebih banyak yang diekspor dibandingkan dengan gas yang digunakan untuk kebutuhan domestik. Kondisi ini yang kemudian mengakibatkan defisit gas khususnya di Jatim sulit teratasi.
“Ekspor gas memang menguntungkan, karena akan menghasilkan devisa dan cash mony. Akan tetapi akan lebih baik lagi jika kebutuhan domestik didahulukan,” ungkap Cahyo, Surabaya.
Saat ini, lanjutnya, kebutuhan gas industri untuk wilayah distribusi Surabaya, Gresik, Pasuruan dan Sidoarjo mencapai 200 meter kaki kubik per hari (mmscfd). Sementara suply pada saat normal hanya mencapai 160 mmscfd. Bahkan sejak Mei hingga Oktober, suply gas ke PGN mengalami penurunan hampir 19%, yaitu hanya sekitar 130 mmscfd. Artinya, defisit gas untuk empat wilayah tersebut mencapai 70 mmscdf.
Untuk itu, terang Cahyo, saat ini PGN tengah berupaya memenuhi kebutuhan tersebut dengan dengan berbagai langkah, diantaranya dengan membangun LNG receiving Terminal di Jawa Barat melalui PT Nusantara Regas, anak perusahaan Pertaminan. Selain itu, PGN juga akan membangun terminal penerima LNG di Sumatera.
“Harapan kami langkah ini akan meningkatkan fleksibilitas PGN dalam mendapatkan pasokan gas,” tegasnya.
Terkait industri yang menjadi konsumen gas terbesar di Jatim adalah industri Food and Beverages yang mencapai 30%, industri keramik 18%, dan industri kaca 15%.
“Industri ini secara kumulatif menjadi kontributor terbesar dalam penjualan gas yang mencapai 98%, selanjutnya sektor komersial seperti restoran dan hotel sebesar 1%, dan rumah tangga 1%,” terangnya. kabarbisnis.com