Bangsa Serba “Tuna”

Budiarto Shambazy

Budiarto Shambazy

Sejak reformasi, dunia kita telah memasuki zaman serba ”biasa”. Sebab, di negeri ini tak ada lagi hal yang ”luar biasa”. Kita sudah kehilangan antena untuk menangkap sekaligus menilai makna sesungguhnya dari setiap peristiwa.

Kata ”biasa” merujuk pada hal-hal yang menurut aturan universal mustahil akan terjadi. Namun, apa lacur, ternyata hal-hal yang tak mungkin terjadi itu akhirnya berlangsung juga. Akibatnya, kita tak lagi mampu memahami apa saja hal-hal yang ”luar biasa”, ”tidak biasa”, ”kelewatan”, atau ”keterlaluan”.

Semua menjadi serba biasa, tidak berakibat apa-apa, dan tak lagi mengusik akal serta nurani kita. Dalam bahasa awam, kita masa bodoh. Dalam bahasa politik, kita apatis. Lebih dari itu, kita sudah ”separuh gila”. Seperti kata Albert Einstein, ”Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.”

Kita sudah sering berharap, tetapi lama-kelamaan bosan juga. Pada awalnya ada harapan cita-cita reformasi akan menajamkan antena kita mengoreksi kesalahan-kesalahan yang tak masuk akal dan bertentangan dengan nurani.

Namun, secara perlahan-lahan antena kita rusak atau patah sehingga tak bekerja. Contoh, fenomena para pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan sewenang-wenang. Ini hal yang sudah biasa terjadi selama 12 tahun terakhir dan bukan lagi persoalan penting apakah wajar atau tidak mereka abusing power.

Contoh lain, sekarang zaman pembentukan dinasti keluarga dan itu sudah biasa dilakukan di mana-mana. Mereka menyiapkan suami, istri, atau anak sebagai penerus. Ini bukan lagi sesuatu yang istimewa. Dan, tak jadi soal apakah yang disiapkan mampu atau tidak, yang penting dinasti tetap terjaga walau negara kita bukan milik keluarga. Korupsi sudah jadi tabiat yang terlalu biasa, bukan lagi hal aneh.

Sudah menjadi fakta, tak sedikit koruptor tetap menempati sejumlah jabatan penting di pemerintahan dan itu bukan lagi kejanggalan yang membuat kita mesti mengernyitkan dahi. Kalaupun mereka terbukti korupsi, itu kenyataan yang amat biasa pula.

Jika ada pejabat yang tak ketahuan korupsi, itu baru ajaib! Mengapa? Sebab, semua praktik korupsi dengan mudah bisa dilacak aparat, lengkap dengan bukti-buktinya. Juga sudah biasa para koruptor berkilah dengan dalih-dalih hukum, dengan membayar pengacara mahal, membela diri. Kita pun biasa melihat mereka dapat perlakuan istimewa tak disidik karena dekat dengan penguasa.

Selama dua tahun terakhir kita sudah terbiasa menyaksikan penyidikan hampir semua kasus korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif berkutat di situ-situ saja. Justru tidak biasa bagi kita melihat koruptor dihukum. Ambil contoh skandal Century yang menurut keputusan DPR melibatkan puluhan pejabat pelanggar aturan. Nah, bukankah kita sudah biasa tidak lagi berharap skandal itu pasti diusut tuntas? Ya, begitulah, kita hidup di alam tanpa payung moral, rambu hukum, kode etik, dan seterusnya.

Kalau aturan-aturan yang tertulis saja sudah tidak dipatuhi, apalagi yang tidak tertulis, seperti kebajikan-kebajikan, norma-norma, dan nilai-nilai yang kita anut sebagai bangsa merdeka. Peristiwa yang tidak biasa lainnya yang terjadi pada hari-hari ini adalah rencana pembangunan gedung baru DPR yang biayanya mencapai hampir Rp 1,2 triliun.

Pembangunan satu kamar anggota DPR saja mencapai Rp 800 juta. Sebagian Anda pasti memprotes bahwa pembangunan ini penghamburan belaka. Namun, itu bukan hal istimewa karena mereka sudah biasa naik gaji, dapat mobil baru, rumahnya direnovasi, dan seterusnya. Jangan heran fenomena ”biasa” terjadi pula di kehidupan masyarakat sehari-hari. Jika Anda terlambat menghadiri acara, itu biasa. Jika tepat waktu, baru luar biasa.

Setiap hari pengendara melanggar aturan, itu biasa juga. Kalau taat aturan, itu baru luar biasa. Kesimpulannya, di republik ini kita lebih baik bersikap biasa-biasa sajalah. Sia-sia jika Anda berharap akan terjadi reformasi baru karena kita pada dasarnya terkenal sebagai bangsa yang enggan berubah.

Kita bukan bangsa yang mau berlelah memprotes penguasa, seperti di Magribi dan Timur Tengah. Kita gigit jari melihat pemimpin, pejabat, politisi, dan partai bersiap menyongsong Pemilu/Pilpres 2014 dengan mengakali undang-undang, keputusan, aturan, atau fatwa. Rakyat kelas atas bangsa kita rata-rata sama dengan yang tinggal di daerah elite Jakarta.

Mereka dulu memprotes busway karena menganggap membeli real estat sekaligus dengan jalan raya di depan rumahnya. Kelas menengah kita cuma bisa mengeluh dan mengumpat di media sosial. Kelas bawah biasanya hanya bisa bersikap pasrah. Bagi penguasa, demokrasi bukan barang yang luar biasa atau produk istimewa. Demokrasi cukup dikunyah-kunyah sebentar saja, setelah itu bisa langsung diludahkan.

Pada saat DPR mau membangun gedung baru, sebagian rakyat tak ubahnya seperti tunawisma. Elite yang berkuasa sudah mirip tunarungu, kita yang sudah lama menyerah ibarat penderita tunawicara. Reformasi memang telah mengubah kita menjadi bangsa serba ”tuna” alias serba ”tidak bisa”. Ya sudahlah, kita biasa-biasa sajalah….

Budiarto Shambazy/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 3119. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim