Ketika Bulog Kalah “Rebutan” Gabah dan Beras Milik Petani

Panen padi petani Kediri. foto:antara

Kabinet Kerja sedang bekerja tetapi asal kerja. Sektor ekonomi amburadul, dan pangan tidak jelas juntrungnya. Ibarat barisan tanpa komandan. Jalan semaunya sendiri. Semrawut tanpa kendali.

Kesemrawutan yang paling kentara adalah di sektor pangan. Dimulai dari target yang muluk-muluk, proses berjalan tidak sesuai harapan, dan naga-naganya akan diakhiri dengan pembenaran-pembenaran (apologia).

Senjata untuk membenarkan kegagalan-kegagalan yang bakal terjadi itu sudah ‘diberi’ Gusti Allah. Hujan yang harusnya berganti kemarau, sekarang balik hujan lagi. Ini tanda, bahwa gagal panen sudah terbentang di depan mata. Puso dan ‘tangis Bombay’ akan menimpa petani kita.
Paling lucu dan memancing cekikikan bagi yang mendengar adalah Bulog. Target yang diemban tidak mampu dipenuhi. Saat panen raya sekarang ini, pembelian gabah dan beras petani hanya mampu direalisasi separohnya. Alasannya dia kalah ‘rebutan’ dengan tengkulak. Banyak pemain baru. Banyak tengkulak beranak-pinak hingga Bulog tidak kebagian membeli beras dan gabah petani.

Sudah dua ‘senjata’ yang bisa digunakan untuk membenarkan kegagalan swasembada pangan. Pertama ‘menyalahkan Tuhan’ karena musim yang di-retake, dan kedua adalah tengkulak yang tidak ikut Keluarga Berencana (KB), hingga punya anak banyak. Masih adakah senjata yang lain? Ada!

Sekarang sedang diwacanakan untuk membuat semacam Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang lahir dan gede di era Orde Baru diubah menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). BUUD sudal almarhum karena diganti KUD. Dan koperasi ini masih eksis hingga kini.
Pikiran ini kontra-produktif. Mengadopsi sejarah tetapi tidak mengambil hikmah dari catatan perjalanan sejarah. BUUD dan KUD adalah institusi paling koruptif kala itu. Bulog juga masuk dalam kategori ini.

Rantai panjang perjalanan benih, pupuk, saprotan sampai hasil gabah dan beras petani merupakan lubang-lubang yang memberi ruang ditransaksikan. Nasib petani dipermainkan melalui rafaksi dan kadar air yang tidak dimengerti petani. Hanya karena petani wajib setor gabah dan beras ke BUUD atau KUD sebagai pembayaran utang, maka ratap tangis petani itu terabaikan.

Kini tidak ada lagi utangan dari pemerintah. Itu artinya tidak ada kewajiban petani harus setor gabah atau berasnya ke ‘negara’. Dengan begitu, jika saat panen raya sekarang ini Bulog kalah dengan tengkulak yang membeli gabah petani dengan harga lebih mahal, itu adalah keniscayaan.

Ini berkah bagi petani. Ini konstruktif bagi penyemangat bertani. Tengkulak macam begini jangan disamakan dengan pengijon. Mereka jangan dianggap sebagai pihak yang memeras petani, menipu, dan membeli gabah petani secara murah. Justru terbalik. Institusi bentukan yang bertujuan baik itulah yang selama ini melakukan kegiatan yang tidak baik.

Bagaimana dengan Bulog? Bagaimana pula dengan cadangan pangan? Harus imporkah untuk itu? Nah, ini dia ujung-ujungnya dari seabreg kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan dan kemakmuran petani itu.

Untuk itu, teruslah impor Pak Jokowi. Berlomba-lombalah membeli produk asing untuk segala kebutuhan penduduk negeri ini. Atau kalau tidak sepakat dengan itu, copot menteri yang tidak becus menangani ini. Djoko Su’ud Sukahar

Komentar Pembaca

  1. Knp bulog hingga sa,at ini masih blm kecukupan di NKRI kita ini. Padahal petani yg gagal panin tahun ini menurun drastis.

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim