Kopwan Bisa Garap Sentra Kerajinan

Kemoceng, sapu, keset, bata merah, dan makanan tradisional bernama geti begitu terkenal di Desa Jalalsari, Kabupaten Tulungagung. Sayangnya mereka tak tersentuh publikasi modern. Walhasil potensi daerah yang sangat besar ini hanya memberi peluang para tengkulak untuk bebas menguasai harga pasaran.


Kemoceng, sapu, dan keset, adalah perkakas harian yang begitu dibutuhkan banyak orang. Meski demikian tak banyak orang tahu siapa pembuat dan dimana diproduksi benda-benda berharga untuk kebutuhan harian tersebut. Boleh jadi orang tak peduli karena harganya selalu terjangkau dan mudah didapat, sedang lainnya adalah permainan tengkulak untuk menutup informasinya agar mereka saja yang mengusai jalur distribusi.

Perajin Makanan Geti Testimoni dana UPKU 2

Seiring dengan program Gubernur Jawa Timur/Jatim Pakde Karwo yang begitu terkenal yaitu satu desa satu Koperasi Wanita (Kopwan), Kopwan Desa Jabalsari sebenarnya bisa berada di garis depan untuk menjadi ujung tombak agar bisa merombak keadaan. Peran tengkulak yang bermain di peralatan penting ini bisa dimininalisir atau malah digantikan dengan cepat. “Saya kira Kopwan Jabalsari cukup mampu melakukan ini,” kata Sunarti, Kepala Desa Jabalsari.

Perajin Kemoceng testimoni pengakses dana UPKU bersama Bu Lurah

Desa itu Jabalsari masuk wilayah Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Bukan termasuk wilayah terpencil sebenarnya. Namun keberadaannya yang jarang diperbincangkan orang membuat desa ini seperti jauh dari pusat keramaian. Padahal desa ini menyimpan segudang potensi yang layak jadi santapan publikasi.

Informasi secara gethok tular yang ada, saat ini orang hanya tahu bahwa di Desa Jabalsari banyak terdapat aktivitas membuat keset dan sapu dari bahan ijuk dan sabut kelapa. Juga kemoceng (sebagian orang menyebutnya sulak) dari bahan bulu ayam dan plastik rafia.

Perajin Keset salah satu pengakses dana UPKU 4

Di luar aktivitas itu masih ada kesibukan membuat batu bata merah. Konon, orang Tulungagung dan sekitarnya tidak marem kalau membuat rumah sementara bahan baku batu bata merahnya tidak berasal dari Jabalsari. Batu bata merah dari desa ini terkenal dengan kualitasnya yang jempolan. Selain aktivitas membuat batu bata merah, di dalam kampung juga banyak terdapat kolam-kolam perikanan untuk budidaya ikan air tawar. Ikan Nila paling bayak, menyusul kemudian gurami dan ikan lele.

Pendeknya, di Desa Jabalsari, nyaris tidak ada orang terlihat menganggur. Sebab semua aktivitas warga tersebut selalu dilakukan dengan padat karya. Aktivitas ini belum termasuk petani dan buruh taninya yang setiap saat berjibaku menggarap sawah dan ladang.

Testimoni Perajin Kemoceng salah satu pengakses dana UPKU

Pekerjaan petani memang mayoritas di desa itu, baru kemudian disusul dengan pekerjaan menjadi aneka perajin tersebut. Sebenarnya hanya sebagian kecil saja yang profesi aslinya perajin, lainnya hanya mengikuti musim. Ketika tidak ada lagi masa menanam dan panen, mereka malih rupa menjadi perajin. Ya perajin sapu, ya keset, ya kemoceng, dan mungkin juga menjadi pedagang. Namun di antara yang hanya berkarya mengikuti musim itu tak sedikit yang produk kerajinannya menuai sukses dipasaran.

Sunarti merinci, warganya yang berjumlah 6.212 orang atau 1893 KK itu makin banyak saja yang menjadikan produk barang rumah tangga seperti komoceng, sapu, keset ijuk, keset bahan limbah kain jadi gantungan hidup baru. Tak sekadar pekerjaan sampingan untuk menghasilkan rupiah tambahan. Pasalnya, hasil pertanian acapkali tidak sesuai dengan harapan. Malahan seringkali merugi dan kena hama. Kendati demikian mereka tak pernah mau benar-benar lepas dari lahan pertaniannya.

Jabalsari, kata Sunarti, memang punya pamor lebih ketimbang desa lain di sekitarnya seperti Bendo Jati Wetan di sebelah Selatan, Sumberdadi di Barat, Sambi Robyong di Utara dan Pulotondo di Timur. Selain memiliki sentra beberapa kerajinan, juga memiliki industri makanan tradisional yang sangat terkenal namanya. Yaitu Geti. Panganan yang terbuat dari adonan gula kelapa yang dicampur dengan biji wijen dan kacang tanah. Meski hanya panganan ndeso yang terbuat dari bahan baku sederhana, tapi jangan salah, penimatnya bisa mencapai lidah orang mancanegara. Paling banyak adalah orang Korea dan Jepang.

“Sayangnya semua itu orang lain yang mendapat nama. Bukan si perajin yang dari Jabalsari sendiri. Sebab, perajin tidak cukup modal untuk membawa sendiri produknya keluar. Modalnya hanya cukup untuk memproduksi dan membayar beberapa karyawannya. Tidak akan cukup untuk melakukan publikasi dan promosi atau membuat jaringan distribusi sendiri,” kata Sunarti prihatin.

Keterbatasan ini membuat semuanya tergantung pada tengkulak. Mereka hilir mudik masuk ke Jabalsari sebagai juragan. Sementara perajin hanya cukup puas jika barang produsiknya habis terbeli. Perajin tidak pernah tahu kalau produksinya mampu menjangkau banyak wilayah. Menyebar ke seantero provinsi dengan aneka merk. Tanpa secuil pun identitas dari Jabalsari. Fenomena ini di satu sisi memang menguntungkan bagi perajin karena cepat menghasilkan uang. Namun ketiadaan identitas produksi membuat mereka rentan terhadap permainan pasar.

Fenomena ini meski bisa dibilang menyedihkan namun cukup membuat hidup suasana perekonomian di Jabalsari. Minimal semua aktivitas itu bisa menghambat warganya agar tak lari ke kota atau keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Sejalan dengan itu, potensi sekaligus kelemahan ini sebenarnya bisa memacu Koperasi Wanita (Kopwan) Desa Jabalsari untuk bergerak dan tergerak menjadikan fenomena ini sebagai ladang pemberdayaan. Sayangnya, meskipun Kepala Desa Jabalsari juga seorang perempuan, tidak otomatis membuat para wanitanya mau tampil progresif ke depan.

Lantaran para wanitanya perlu disokong lebih dahulu, Sunarti, bersama pengurus lembaga keuangan desanya, juga melibatkan LPMD dan tokoh masyarakat desa setempat menyuport bantuan dana dari pos pemberdayaan desa agar sentra kerajinan Jabalsari makin bisa diandalkan. Suport tersebut lebih bersifat stimulan yang berupa pinjaman sangat lunak agar kegiatan masyarakat menjadi lebih hidup. Program stimulan yang digarap itu, lanjut Sunarti, diarahkan untuk perajin-perajin kemoceng, keset, sapu dan makanan geti. Untuk masing-masing perajin, desa memberikan kebijakan berbeda. Jika pelaku usaha biasa hanya mendapatkan dana pinjaman dana 500 ribu – 1 juta rupiah, para perajin yang usahanya sudah berjalan mendapatkan pinjaman 8-15 juta rupiah. Dengan pinjaman tersebut, perajin yang biasanya juga berupa kelompok masyarakat ini, mampu berproduksi lebih stabil. Tidak tergantung musim dan menunggu sisa laba dari hasil panen.

Siti Umayah, 31 tahun, perajin kemoceng berbahan plastik rafia Jabalsari adalah salah satu yang sudah merasakan hasilnya mengakses pinjaman dana tersebut. Meski tetap mengandalkan tengkulak untuk melempar hasil kemocengnya, produksi yang semula 30 kodi dalam seminggu meningkat pesat menjadi 30 kodi dalam waktu yang sama. Satu kodi berisi 20 kemoceng, dan dibeli tengkulak hanya 1750 rupiah per bijinya. Meski dengan harga super murah, ia masih bisa menggaji 3 orang pekerja yang ikut dengannya. Masing-masing harus digaji 4 ribu rupiah untuk tenaga garuk dan 5 ribu rupiah untuk pembuat kemoceng per satu kodi.

Selain Siti Umayah, Suparmi 65 tahun, perajin makanan tradisional Geti, juga merasakan hasil yang serupa. Stimulan 8 juta rupiah yang diterimanya mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Malahan ia juga mampu membuat variasi usaha makanannya. Selain Geti, ia juga menghasilkan camilan bernama mancu wijen, mancu kroto, carang mas, krecek singkong, dan opak gambir. Jika hari raya tiba omsetnya juga melonjak dahsyat. Bisa mengolah bahan baku mencapai 6 ton per hari. Pemasarannya juga melebar dari Surabaya hingga Kalimantan dan Sumatera. Sayangnya, tetap tengkulak yang mengambil peran paling besar. Jabalsari sebagai penghasil malahan hanya sesekali saja nampak, itupun terlihat seperti kuman di seberang lautan. (widi kamidi)

7 Komentar Pembaca

  1. yahh, semoga kondisi ekonomi para pengrajin asli daerah Jabalsari menjadi lebih baik lagi, agar bisa terus berkarya dan berkarya …

  2. Perkenalkan nama saya doni asal trenggalek berdomisi di surabaya,,,saya sangat berminat dan antusias sekali membaca artikel mengenai kerajinan yg ada di desa jabalsari,,,,untuk menunjang pemasaran produk kerajinan di jabalsari saya siap memasarkan produk2 kerajinan,,untuk info lbh lanjut bs menghubungi di 081703016188

  3. Bagus sekali.saya jg pengen kopwan didesa saya bs membuat kerajinan spt itu

  4. maju terus jabalasari…………………semoga jadi contaoh dan inpirasi desa desa lain untuk maju

  5. cara buat kemocengnya gimana ya??

  6. Sy perajin keset perca jenis penjara,sapa yg mau masarkan silahkan hbg 085745692108

  7. terimakasih informasinya

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim