Kejujuran Itu Bernama Siami

Ilustrasi

Ketika William Shakespeare mengatakan, honesty is the best policy, kejujuran adalah kebijakan terbaik, tentu maksudnya tak sekadar memerkarakan bahwa kebohongan adalah sesuatu yang buruk, atau dalam bahasa lebih religius, sebuah dosa.

Frase ini punya makna literer jelas: kejujuran memang pilihan terbaik. Karena itu, kejujuran tidaklah sama dengan kebenaran (truthfulness). Ia terhubung dengan integritas dan lebih menyiratkan ketulusan: kebenaran untuk diri. Tentu ini tak selalu berarti ”tidak bohong”, tetapi lebih pada jalan lurus integritas seseorang. Karena itu, mungkin sulit bagi sebagian orang memahami mengapa untuk kesetiaan terhadap integritas, perempuan seperti Siami rela menempuh jalan terjal demi tegaknya kebenaran yang ia yakini. Ia rela terusir dari rumahnya karena lebih memilih nurani daripada memanipulasi kejujuran.

Potret langka

Siami adalah potret langka. Ia membukakan hati dan pikiran kita bahwa menjadi perempuan sekaligus ibu sungguh tak mudah di negeri ini. Apalagi ketika beban kultural mendidik generasi ini diserahkan sepenuhnya pada tanggung jawab ibu, yang kerap berhadapan dengan institusi pendidikan yang ironisnya justru menggerus nilai itu.

Siami dihujat dan diusir warga dan wali murid lantaran melaporkan kasus mencontek massal saat ujian nasional SD, Mei silam. Anaknya, Alif, adalah murid pintar di sekolahnya dan mewarisi integritas dirinya. Namun, di negeri ini kombinasi keduanya ternyata tak melulu berkah, kadang justru mendatangkan musibah. Buktinya, ia diperintah gurunya memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional. Perintah itu telah membuatnya gelisah, yang ia ceritakan kepada Siami, ibunya.

Siami tentu terkejut. Ia tak pernah membayangkan nilai dan prinsip kejujuran yang ditanamkan kepada anaknya—agar menghargai kerja keras dan kemampuan sendiri—justru membentur institusi pendidikan yang diharapkan akan memperkokohnya.

Siami kemudian melaporkan kepada kepala sekolah dan komite sekolah tentang tragedi ini. Di luar dugaan, ia tak mendapatkan tanggapan yang memadai. Akhirnya ia menempuh jalan sendiri. Ia melapor ke dinas pendidikan, kemudian ditindaklanjuti penyelidikan oleh anggota DPRD setempat. Hasilnya, kepala sekolah diberhentikan dan dua guru diturunkan pangkatnya.

Atas laporan itu pula, Siami kemudian dihujat dan dicemooh wali murid lain dan warga, yang membuatnya tersingkir dari rumahnya sendiri. Alasannya, ia dianggap memberikan citra buruk bagi prestasi sekolah.

Absennya kejujuran

Kita pun terperanjat sekaligus cemas. Kejujuran ternyata bukan lagi sesuatu yang memukau untuk diperjuangkan. Ia tak lagi memperhadapkan negara secara langsung dengan warganya seperti terjadi selama ini, tetapi merembes sesama warga.

Kejujuran sebagai nilai kebaikan absolut dan universal jadi sangat relatif. Kejujuran sudah lama absen di ruang publik kita, juga di institusi pendidikan yang dianggap bakal melahirkan generasi yang menghargai dan menegakkan kejujuran.

Ruang publik kita dikuasai percakapan politik dan kekuasaan yang sering membuat kita dungu. Kita kerap mempercakapkan nilai-nilai, memperdebatkan etika, mendiskusikan prinsip kebaikan, tetapi tidak untuk menegakkannya dalam tindakan konkret.

Inilah yang membedakan Siami. Ia memimpin kita bahwa memperjuangkan nilai dan etika tak cukup hanya dihafalkan, tetapi harus dilakukan dalam tindakan konkret. Dan, ia juga sadar dengan konsekuensi apa arti ”satunya kata dan perbuatan”. Siami hendak mengingatkan kita, melalui institusi pendidikan yang dikritiknya, kejujuran haruslah jadi salah satu landasan kebijakan negeri ini. Kebijakan yang berakar dari pemerintah, yang berkaitan dengan publik.

Kita perlu bertanya, jika kejujuran adalah kebijakan terbaik, untuk siapa dan dalam hal apa kita anggap yang terbaik? Mungkin kebijakan terbaik adalah perencanaan yang memungkinkan banyak orang hidup dalam harmoni satu dengan yang lain, yang memungkinkan kepentingan pribadi dan kebenaran mutlak bukan menjadi kepentingan utama. Mencontek massal dalam kasus Siami memperlihatkan fakta sebaliknya. Ia menunjukkan produk kebijakan yang mencoba memanipulasi argumen dalam membangun ”kebenaran” yang menyesatkan.

Citra tentang prestasi sekolah, peringkat tertinggi, dan mutu terbaik adalah salah satu alasan mengapa statistik begitu digandrungi di negeri ini. Statistik hanya menyajikan kuantitas, bukan kualitas. Untuk meraihnya, para pengajar, orangtua murid, dan siswa tak segan-segan bekerja sama, bahu-membahu, mewujudkan citra yang semu itu dengan menggadaikan kejujuran.

Inilah yang dilawan Siami!

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim