Kambing Hitam

ilustrasi: www.pitutur.net

Psikologi politik mengecam pejabat yang mencari kambing hitam untuk kegagalan mereka melaksanakan tugas: pejabat itu tak memiliki kekesatriaan mengakui kesalahan dan menuding pihak lain sebagai penanggung jawab malapetaka.

Memang secara psikis ada orang yang bisa mencari kesalahan dalam diri ”orang yang berbeda pendapat”: seakan-akan beda pendapat adalah dosa; maka ”yang memiliki pendirian lain harus dikutuk”, tanpa peduli akan kesalahan pendidikan atau kepemimpinan. Padahal, pemikir seperti Immanuel Kant menegaskan bahwa pemimpin (politik) wajib mempertanggungjawabkan segala pelayanan publik. Mangkunegara IV menganjurkan agar rakyat memercayai pemimpin yang bersedia memikul tanggung jawab dalam memimpin negara.

Provokator?

Seseorang dapat saja mengatakan, petugas sudah berbuat semampu mereka dan tak berhasil menyelamatkan kelompok yang agaknya melakukan provokasi. Hal serupa dapat dikaitkan sekitar peristiwa Cikeusik ataupun Bekasi, Temanggung, dan kejadian lain. Dalam ucapan tersebut dilontarkan pendirian bahwa pihak berwajib tidak bertanggung jawab atas pembunuhan, pelukaan, atau perusakan yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok dengan alasan bahwa pihak lainlah yang dianggap melakukan provokasi.

Sikap serupa sesungguhnya diperlihatkan oleh orang-orang yang menganggap bahwa pakaian tertentu atau software dalam komputer tertentu menyebabkan orang berbuat kriminalitas sehingga memerkosa atau melakukan pelecehan seksual. Lalu, muncul kehendak mengadakan aturan atau UU pornografi.

Dalam keduanya, kegagalan yang bersangkutan mendidik dan memiliki moralitas tangguh mau dimaafkan dan dicarilah kambing hitam berupa orang yang berpakaian tertentu atau orang yang beribadah. Padahal, berpakaian, menggunakan alat komunikasi, dan beribadah terbilang sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam mengekspresikan diri, baik dalam hidup sosial maupun dalam sikap iman.

Alih-alih mengakui kesalahan pejabat yang tak membela rakyat kecil, yakni korban kriminalitas, orang malah meneriakkan ”provokator-provokator” atau ”kambing hitam”. Memang orangnya sudah telanjur mati dan tidak dapat menjawab; sementara penyerang yang masih hidup dapat saja berseru-seru dan mengulang-ulang perbuatannya karena toh tidak dihukum sepantasnya.

Tuduhan provokator cukup menyakitkan. Tuduhan itu hanyalah mengalihkan perhatian dari kriminalitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sebenarnya juga tidak disetujui oleh banyak orang seimannya, tetapi tidak pernah diadili secara selayaknya. Oleh sebab itu, mereka tidak jera bertindak intoleran.

Mirip Hitler

Ketika Hitler baru mulai dengan kelompok kecil bergerak meneror kelompok-kelompok dalam lingkungannya, masyarakat mendiamkan saja karena mereka memakai isu masalah ekonomi yang sedang peka waktu itu. Dalam banyak negara, pembiaran seperti masa awal Hitler telah dibayar mahal, sebagaimana juga terjadi ketika Stalin mulai berkuasa; walau kondisi sosialnya berbeda. Hal serupa terjadi sekitar Mussolini.

Namun, pembiaran ketidakadilan dan ketidakcermatan berkenaan dengan pencarian kambing hitam ternyata menciptakan penguatan langkah demi langkah. Sampai terjadi megalomania sekitar tokoh yang dianggap ”besar” dan ”berjasa”, padahal sebenarnya sedang menuntun bangsa pada anarki berkepanjangan.

Untuk menentangnya, ada semacam religionisasi yang dengan topeng religi diciptakan suatu pendirian, seakan-akan segala yang beretiket agama selalu tepat. Religi atau agama kerap disodorkan sebagai argumen untuk sikap politis, membungkus kepentingan pribadi, maksud sektarian, dan konspirasi politis. Religi direndahkan menjadi alat politis atau kepentingan sekelompok manusia atau malah ambisi pribadi. Jalannya dengan memberi etiket ”nonreligius” kepada hal-hal yang sebenarnya netral walaupun seperti semua pisau atau air panas, ya, dapat dipakai untuk maksud baik atau buruk.

Lalu, pemakainya diberi judul ”provokator”. Yang terjadi bukanlah meningkatkan sikap beragama, melainkan proses dereligionisasi: menyingkirkan agama dan digantikan oleh ambisi nonreligius. Upaya menegakkan hukum, yang pada dasarnya baik, lalu dipakai sebagai alat untuk menzalimi orang yang secara populer diberi etiket ”provokator”. Itulah nama baru untuk kambing hitam.

Sudah sejak 1963 Karpmann menunjukkan bahwa mencari kambing hitam adalah cara biasa yang dipakai oleh ”petugas yang tidak mampu mempertanggungjawabkan langkah-langkahnya”. Caranya adalah mengalihkan perhatian dan mengkriminalisasikan seseorang atau sesuatu pihak yang secara sosial lemah untuk membuat mereka dianggap salah dan lama-kelamaan memang dituduh salah oleh banyak orang. Posisi lemah korban kekerasan kerap kali dimanfaatkan oleh pejabat yang tidak mampu karena masyarakat biasanya mencari ”siapa yang salah” dalam suatu malapetaka, musibah, atau kejahatan.

Kelemahan Aturan

Salah satu kambing hitam yang paling lemah, karena tidak dapat berbicara, adalah aturan atau UU. Dalam banyak konteks, kerap kali hukum atau aturan dianggap jadi biang keladi kerusuhan atau kerusuhan dalam konflik. Hal itulah yang kini sering dianggap terjadi sekitar kerusuhan yang berkisar pada hubungan di antara orang-orang yang berbeda pandangan, keyakinan, dan iman.

Orang mudah mempermasalahkan UU atau peraturan bersama menteri atau keputusan bersama. Padahal, banyak segi dalam peristiwa kerusuhan dapat dipandang dengan lebih langsung pada masalah hak asasi manusia: baik sekitar hak milik, hak hidup, maupun hak beribadah.

Pencampuradukan wewenang petugas negara dan pemimpin agama dalam hal- hal kerusuhan lintas agama diperburuk oleh dereligionisasi yang berselimutkan religionisasi tadi. Sudah saatnya pemimpin negara ini lebih jernih dan tegas dalam kewajibannya melindungi rakyat dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia; tanpa mudah mencari kambing hitam.

BS Mardiatmadja Rohaniwan/Kompas 19 Februari 2011

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim