Rencana pemerintah Indonesia untuk serius mengimplementasikan e-Government mendapat pujian sekaligus kritikan. Ada salah kaprah selama ini yang harus diluruskan agar pemerintahan dengan sistem online ini bisa mudah dimengerti dan bermanfaat bagi masyarakat.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Yuddy Chrisnandi sebelumnya mengatakan, Indonesia sudah punya kerja sama dengan Korea Selatan untuk mempelajari e-Government.
“Selain dengan Korea Selatan, kami juga sedang menjajaki perjanjian belajar dengan Singapura dan Australia. Ketiga negara ini yang terbesar untuk urusan e-Government,” ujarnya setelah breakfast meeting bersama Menkominfo Rudiantara di kantor Kominfo, Jakarta.
Namun menurut Profesor Ricardus Eko Indrajit, Guru Besar Ilmu Komputer yang sekarang menjabat sebagai Komisi Pengendalian Bidang Percepatan Sertifikasi ICT Badan Nasional Sertifikasi Profesi, niat pemerintah untuk belajar e-Government sudah bagus, tapi harusnya tak cuma di tiga negara itu saja.
“Belajar e-Gov ya bisa dari mana saja, di Indonesia juga bisa. Sekarang pemerintahan kita ada berapa? Bayangkan jalan ke kota kabupaten yang jumlahnya ada 500. e-Gov itu cuma sebuah konsep yang digunakan untuk memperkecil jarak antara masyarakat dengan pemerintahnya,” kata dia saat ditemui di Kementerian Kominfo, Senin (2/2/2015).
Nah, lanjut dia, konsep e-Gov itu dulu yang harus dipahami oleh pemerintahan dalam negeri sebelum mempelajarinya lebih dalam di negara lain. Karena kalau tidak, akan terjadi salah kaprah.
“Kalau bicara e-Gov apa yang ada di kepala orang? Terkait dengan hardware. Ada seluler, ponsel, notebook. Tapi coba ke Singapura, Hong Kong, Korea Selatan atau Jepang. Lihat di halte, ada papan pengumuman yang menunjukkan berapa menit lagi bus akan datang,” kata Eko Indrajit
“Apa itu bukan IT? Kita kan nggak pernah terpikir selain membeli desktop di taruh di kantor baru berarti IT. Padahal itu cuma backbone, sementara yang penting adalah informasinya. Kita banyak lari ke tools-nya. Padahal e-Gov itu cara berpikirnya”.
(Sumber: detikinet)