Perlunya Meratifikasi Sektor Prioritas MEA

Kapitalisasi batik sangat berpengaruh saat MEA diberlakukan. foto:widikamidi

Tinggal hitungan bulan. Apa itu? Liberalisasi pasar ASEAN. Meski tinggal hitungan bulan, namun banyak pelaku usaha masih meraba-raba konsep dan konsekuensi dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) itu.

Sejumlah pelaku usaha menunjukkan mayoritas belum mengerti soal MEA.  Sosialisasi oleh pemerintah sudah dilakukan di berbagai daerah, dari kota hingga kabupaten. Namun MEA tetap membuat gagap. Kalau hanya sekadar mengerti saja tentu itu belumlah cukup.

Salah satu faktor rendahnya kesiapan Indonesia lantaran tidak ada ancang-ancang komprehensif dan taktis untuk mengambil benefit terbesar dari liberalisasi kawasan tersebut.

Ini berbeda dengan persiapan di negeri jiran. Thailand umpamanya, telah menyiapkan 8 strategi khusus untuk menghadapi MEA sejak 2012. Salah satunya, ekspansi sektor peternakan dengan membidik investasi di Myanmar.

Maka, dalam hal ini, pemerintah tidak cukup cuma sosialisasi untuk menjelaskan apa itu MEA. Harus segera bersama pelaku usaha menyiapkan strategi dan rencana kerja detail.

Ada pembagian tugas dan target waktu jelas untuk meningkatkan daya saing industri, memenangi pasar domestik dan pasar ASEAN.

Sebenarnya terdapat ada empat hal penting yang perlu diantisipasi. Pertama, implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di ASEAN. Akibatnya, defisit neraca perdagangan barang Indonesia dengan ASEAN bisa membuncit.

Tanpa pengembangan industri transportasi nasional, realisasi MEA pun berisiko memperlebar defisit neraca jasa seiring intensnya perdagangan. Lebih lanjut, MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja yang bisa memicu banjir tenaga kerja asing di Indonesia.

Dari data Bank Indonesia, remitansi tenaga asing naik 16,5% per tahun, lebih tinggi daripada remitansi TKI di luar negeri yang 4,2%. Ini berpotensi menambah beban neraca transaksi berjalan dan masalah pengangguran.

MEA pun bakal menarik investasi masuk ke Indonesia. Namun, pemerintah harus tanggap untuk mengarahkannya ke pembangunan industri hulu. Pemerintah Jokowi perlu membuat kebijakan agar nantinya tak gagap menghadapi liberalisasi pasar ini.

Saat ini ada salah persepsi yang terjadi.  Pemerintah memang sudah mengatakan kesiapan sebesar 80 persen. Sementara itu, pebisnis bilang belum siap. Kalau mengukur kesiapan pemerintah, apakah sudah meratifikasi kesepakatan dengan negara-negara lain, seperti pariwisata, kesehatan, dan investasi?

Pengusaha melihat, apa strategi yang sudah pemerintah lakukan dan apa sektor yang sudah dimenangkan. Perbedaan cara pandang ini merupakan suatu kesenjangan yang luar biasa.

Pemerintah hanya melihat peluang pasar 600 juta orang kalau MEA diberlakukan. Padahal, itu hanya potential market. Jangan-jangan pasar kita yang 240 juta orang menjadi hanya 150 juta karena diisi oleh negara-negara Asean.

Sementara di kalangan pengusaha timbul pesimisme karena mereka tidak tahu strategi dan tidak mengerti kesepakatan mana yang telah diratifikasi pemerintah dan sektor mana yang diprioritaskan masuk MEA.

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih kelihatan gagapnya. Malaysia sudah jelas sektor mana yang diunggulkan, yakni pariwisata dan kesehatan. Industri manufaktur khususnya makanan ke Indonesia, Malaysia sudah luar biasa ekspansinya.

Thailand dengan keunggulannya pertanian dan manufaktur berbasis pertanian. Pemerintahnya bersama swasta melakukan investasi ke Myanmar, nanti pasarnya adalah Indonesia.

Indonesia selama ini dikenal sebagai  supplier (pemasok) barang-barang mentah. Pertumbuhan ekspor kita ke ASEAN sebesar 14,7 persen per tahun. Tapi pertumbuhan impornya dari ASEAN sebesar 25,3 persen per tahun.

Ini sangat mungkin Indonesia dijadikan basis produksi karena banyak perusahaan MNC (Multinational Company) masuk Indonesia. Sebanyak 40 persen tenaga kerja ASEAN berada di Indonesia. Sumber daya Indonesia untuk batu bara masih nomor satu, karet masih nomor satu, dan CPO (crude palm oil) masih nomor satu.

Sayangnya, kita diam saja investasi dan perdagangan akan masuk Indonesia. Kalau nanti Indonesia masuk MEA, memang kue ekonomi Indonesia akan membesar.  Namun, neraca transaksi berjalan kita defisit sekarang. Kalau perdagangan ini makin besar, defisit kita semakin melebar.

Dampak diberlakukannya MEA ini sudah terasa di sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan asing sudah mencuri start dengan mendatangkan pekerja asal negara lain.

Investor dari Taiwan yang berinvestasi di Bali sudah menggunakan tenaga kerja dari Vietnam. Tiongkok yang berinvestasi di infrastruktur di Indonesia, mereka membawa tenaga kerja sendiri.

Di Industri tekstil, banyak tenaga kerja untuk level operator ke bawah dari India dan Pakistan. Karena mereka nggak rewel, tidak peduli dengan outsourcing (alih-daya), THR (Tunjangan Hari Raya), dan dapat bekerja sampai malam.

Untuk menghadapi MEA, pemerintah harus mereformasi struktur ekonomi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara produsen. Selama ini, bahan baku indutri masih bergantung impor sampai 70 persen dan konsumsi juga masih bergantung impor.

Kalau bicara tekstil, impor Indonesia lebih besar dibandingkan ekspor. Kita belum optimalkan industri batik. Padahal, kita sudah dapatkan sertifikasi batik dari UNESCO (PBB) bahwa batik adalah milik Indonesia. Sudahkah kita mengkapitalisasi batik? Itu tidak dikembangkan secara serius.

Untuk melindungi produk,  pemerintah perlu dua strategi tariff barrier dan non-tariff barrier. Tariff barrier di Indonesiaa sudah paling rendah, tinggal 4 persen. Tarif produk industri di Tiongkok masih diberikan rata-rata 11,2 persen. Padahal, kita impor produk industri sampai 70 persen dari Tiongkok.

Kalau Pak Jokowi mengundang investasi, dia harus mempersiapkan supporting industry sehingga mereka tidak mengimpor 70 persen bahan baku. Itu akan menambah nilai tambah di dalam negeri. Kalau tidak, neraca transaksi perdagangan bisa defisit.

Silakan investor masuk, tapi ke sektor hulu, sehingga akan menciptakan industri hilir di dalam negeri. Kalau kita mengundang investor asing di hilir, hulunya tidak bangun, itu akan berbasis impor lagi.

Pemerintah Jokowi harus memilih sektor yang kebergantungan impor tidak besar dan mampu menciptakan tenaga kerja. Harus dicari sektor-sektor yang local content-nya tinggi. (widi kamidi/berbagai sumber)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2287. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim