Cerita Sulastri dan 2 Anaknya Hidup dalam Pasungan

Kisah orang terpasung yang pernah diangkat ke layar lebar.

Kamar itu berukuran 2×3 meter saja. Bukan kamar yang istimewa. Kesannya tak lebih daripada sempit, pengab, dan jorok. Namun Dwi Purwaningsih (32) “kerasan” berada di kamar itu. Sebuah kerasan yang sangat dipaksakan, sebab kedua kakinya berada dalam pasungan.

Dwi Purwaningsih bukan perempuan biasa sebenarnya. Perempuan yang tercatat sebagai warga Dusun Manjungsari, Desa Wakah, Kecamatan Ngrambe, Ngawi, Jawa Timur ini punya kemampuan. Kemampuan di atas rata-rata dibanding perempuan lain di desanya. Dwi diketahui pernah bersekolah seni di Solo. Sekolah seni itu juga masih dipadu dengan kursus tata rias untuk mengejar kemapuan yang lain.

Dari beberapa proses belajar itu akhirnya kemampuan olah seni benar-benar ia miliki. Nasib kemudian membawanya menjadi penyanyi campursari. Sebagai penyanyi pemula Dwi sadar bahwa dirinya harus berjuang, dan itu dilakoni sendiri maupun bersama grup campursarinya. Beberapa tahun berjuang, meski perekonomian belum membaik, toh namanya sudah dikenal sebagai penyanyi campursari.

Sayang, nasib juga berkata lain. Tahu-tahu, tidak begitu jelas ujung pangkalnya, Dwi Purwaningsing memiliki kelainan kejiawaan. Seringkali ia terlihat mengamuk. Dalam amukannya itu sering membahayakan orang lain. Orang pun lantas melupakannya menjadi penyanyi campursari. Grup yang diikutinyapun juga meninggalkan dirinya karena tentu akan mengalami kesulitan kalau Dwi tetap ikut bernaung.

Selepas itu, bekas penyanyi campursari cantik ini akhirnya menjadi penghuni tetap kamar berukuran 2×3 meter Dusun Manjungsari, Desa Wakah, Kecamatan Ngrambe, Ngawi. Karena tak mau ambil resiko, Dwi pun kemudian dipasung oleh keluarganya. Hingga 2014 ini, sudah 12 tahun lamanya Dwi Hidup dalam pasungan. Rupanya ia tidak sendiri, saudara kandungnya, Eko Prasetyo, juga bernasib sama. Lantaran mengalami gangguan jiwa bekas buruh perusahan kayu di Kalimantan itu juga dipasung.

Ibu kandung Dwi Purwaningsih juga Eko Prasetyo, Ny Sulastri (52) mengaku tak punya pilihan lain terhadap kedua anaknya tersebut. Sebab, kalau tidak dipasung keduanya bisa mengamuk dan dapat membahayakan warga lain. Mau tidak mau itu harus dilakukan  mengingat dirinya tak memiliki finansial jika orang lain celaka oleh ulah anaknya jika mengamuk.

Menurut Sulastri kedua anaknya pernah dirujukan ke rumah sakit Surabaya beberapa waktu lalu, namun ia merasa tak ada perubahan.  Sebab itu ia memutuskan untuk membawa mereka pulang dan dirawat sendiri di rumah dengan cara dipasung.

Sulastri memang tergolong masyararakat yang tidak mampu. Untuk menghidupi dirinya saat ini, berikut dua anaknya yang kelainan jiwa itu, ia harus berjualan sayur keliling. Ia juga menjadi tukang pijat. Apa saja juga dilakukan untuk bertahan hidup berikut segala daya upaya agar kedua anaknya bisa kembali normal. Untuk itu Sulastri berharap, program pemerintah Jawa Timur yang menjadikan provinsi ini bebas pasungan menetes kepadanya. Artinya, dengan adanya program tersebut akan ada bantuan dari pemerintah provinsi agar kedua anaknya tak lagi berada dalam pasungan. (idi/disarikan dan ditulis ulang dari posting Surya Online)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim