Paradigma Swasembada (Mungkin) Saatnya Diganti

Panen padi di Kabupaten Madiun. foto:idi

Untuk kebutuhan pangan, khususnya beras, Jawa Timur dalam sejarahnya menjadi lumbung pangan nasional. Di sisi produksi, propinsi selalu surplus dalam setiap musim panen. Tetapi, kenyataannya mendapatkan beras dengan berharga murah bukan perkaran mudah. Memang tidak ada gejolak kenaikan harga beras di Jawa Timur. Namun, sejumlah fenomena yang pernah terjadi patut dicermati, diantaranya mulai menipis dan kosongnya stok bahan pangan utama ini di sejumlah kantong-kantong beras Jawa Timur.

Melihat fenomena ini kita patut mengapreasiasi pernyataan pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Bayu Krisnamurti. Sang pakar mengusulkan, agar pemerintah sudah mulai beralih menggarap isu pertanian yang lain, jadi tidak melulu memikirkan yang namanya swasembada. Sebab, banyak potensi lain yang belum diperhatikan dan tergarap dengan baik oleh kinerja pemerintah. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Seharusnya, pemerintah, membuat paradigma baru terkait pertanian. Membuat peningkatan produksi pertanian lain yang lebih cepat daripada pendekatan swasembadanya itu sendiri yang terus menerus didengungkan.

Banyak tantangan di sektor pertanian. Beberapa diantaranya adalah ketidakmampuan mengelola daerah tangkapan, alih fungsi lahan, land grabbing oleh kelompok pemodal seperti yang terjadi di Merauke atau daerah lainnya. Tidak hanya itu, evolusi pertanian pedesaan seiring berkurangnya lima juta rumah tangga petani dan tiga ratus penyuluh tani yang sudah terjadi, ancaman middle income trade yang mulai beralih ke industri supply chain dan manufacture, minimnya pengembangan kapasitas pemberdayaan sumberdaya insani petani serta minimnya pengembangan bioteknologi dan industrialisasi petani pedesaan.

Untuk menjawab itu semua, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan bersama. Pertama, masih perlukah kita menganut paradigma swasembada. Atau justru blue economy, zero waste, dan bio industrialisasi pedesaan berkelanjutan yang segera dikerjakan.

Kedua, apakah fokus pembangunan pertanian masih pada komoditas, beras, jagung, kedelai, gula, daging, revitalisasi pertanian dan sebagainya. Atau mungkin malah kudu fokus ke wilayah satuan kelompok tani dan desa. Ketiga, suport yang diberikan masihkan pada input kredit seperti pupuk, bibit, kredit atau justu insan petaninya. Kemudian pengambilan keputusan kebijakan masihkah berdasarkan voting atau berbasis pengetahuan dan fakta. Terakhir, masihkah kita mengandalkan pemerintah sebagai driving forcenya atau masyarakat itu sendiri.

Ada beberapa kekeliruan yang selama ini dipelihara dalam pengembangan pertanian Indonesia. Misalnya, pendekatan swasembada yang dinilainya tidak cukup dan mengesampingkan potensi lain yang lebih realistis untuk dikembangkan seperti lahan kering, rawa, pasang surut yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kekeliruan lain adalah pendekatan input yang dinilai tidak tepat sasaran. Pemerintah selama ini hanya memberikan subsidi 60 triliun. Sebagian besar subsidi itu atau 80 persennya adalah untuk kebutuhan pupuk. Sisanya baru untuk bibit, kredit, irigasi. Padahal ini tidak efektif dan harusnya direalokasi pada pemberdayaan kemampuan petani, peningkatan teknologi, hingga untuk fasilitas industrialisasi pedesaan.

Menjemur hasil panen. foto:idi

Subsidi, seyogyanya, lebih diarahkan ke petani untuk meningkatkan produktivitas, kualitas sehingga pada akhirnya kesejahteraan petani bisa tercapai. APBN kita ini masih menggunakan revolusi hijau. Dulu namanya panca usaha tani. Pupuk, air, mekanisasi, bibit, pengolahan tanah, jadi input intinya. Total APBN untuk pertanian itu 1300 triliun dari total PDB 13 ribu triliun. Jadi hanya 10 persennya saja. Subsidi pertaniannya cuma 60 triliun, dan betapa kecilnya.

Sebab itu kalau kita terus mengandalkan pemerintah ini tidak akan bisa jalan. Masyarakat dan petani yang perlu diberdayakan, termasuk peran penyuluh yang bergerak bersama petani menjadi motivator, didukung dengan sistem penyuluhan yang lebih advance dan riset sehingga inovasinya bisa langsung keluar. Sayangnya  itu adanya di perguruan tinggi.

Untuk tahun depan seyogyanya pemerintahan yang baru mengadakan penyesuaian. Misalnya bagaimana konsep blue economy, zero waste dikembangkan. Bagaimana pemerintah melihat land resource lain tidak melulu sawah irigasi, bagaimana pemerintah berbicara produk bernilai tambah. Jadi tahun 2015 ini yang sangat strategis. Seharusnya kita tidak lagi berbicara specific land resource sawah beririgasi, monokultur padi, swasembada, dan green revolution. (tim/disarikan dari agrofarm magazine)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim