Pekan-pekan ini masyarakat dikhawatirkan dengan melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok, terutama beras. Namun, lonjakan harga komoditas ini senyatanya tak dirasakan oleh petani. Harga komoditas di pasar boleh melambung tinggi, tapi petani tetap terjerat kemiskinan yang seolah tak bertepi.
Mari kita lihat data empirisnya. Di pasar Jawa Timur, umpamanya, pada bulan Juli rata-rata harga beras medium sudah mencapai Rp7.690 per kilogram, padahal pada bulan Juni harga masih Rp7.13d per kilogram, naik sekitar Rp500 per kilogram.
Ironisnya, mahalnya harga beras tersebut ternyata tidak dinikmati petani. Petani masih miskin dan terbelit oleh mahalnya berbagai kebutuhan pokok menjelang puasa dan lebaran.
Hal ini tecermin dari tipisnya kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Juli 2011 yang hanya sebesar 0,0003%. Kenaikan yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan kenaikan harga beras. Bahkan kenaikan tersebut tidak akan terbaca jika hanya melihat tiga angka di belakang koma.
“Kenaikannya memang sangat tipis. Jika kita baca hanya dengan melihat dua digit angka dibelakang koma, maka tidak akan terlihat,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Timur (Jatim) Irlan Indrocahyo di Surabya, Selasa (2/8/2011).
Data BPS menunjukkan, dari lima sub sektor pertanian, hanya dua sub sektor yang mengalami kenaikan, yaiti sub sektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 0,41%, dari 96,88% menjadi 97,28% dan sub sektor tanaman pangan sebesar 0,27%, dari 101,98% menjadi 102,26%.
Kenaikan sub sektor tanaman pangan dipicu oleh naiknya harga komoditas produksi mereka, diantaranya gabah, ketela pohon dan kacang hijau. Sementara kenaikan sub sektor tanaman perkebunan rakyat dipicu oleh naiknya harga kopi biji kering, kelapa belum dikupas, cengkeh, tebu dan tembakau daun kering.
Sedangkan sub sektor peternakan justru turun 0,02%, sub sektor perikanan turun 0,81% dan sub sektor hortikultura turun 0,74%.
Tipisnya kenaikan NTP tersebut menurut Irlan karena tekanan dari mahalnya harga berbagai barang konsumsi menjelang puasa ini.
Harga beras mencapai 7.690, telur ayam ras sudah mencapa Rp29.825 per kilogram, naik 9% dari sebelumnya RP27.320, gula naik menjadi Rp11.000 dari sebelumnya Rp10.940 per kilogram.
Kenaikan berbagai kebutuhan pokok ini juga diperparah dengan naiknya harga dedak, pupuk urea, mie bakso, kacang tanah, rokok dan makanan jadi.
Dengan banyaknya barang konsumsi yang mengalami kenaikan, maka selisih kenaikan indeks harga yang diterima (it) petani sangat tipis dibanding kenaikan indeks harga yang dibayar petani (ib).
Pada bulan Juli, it petani naik 0,7392% dari bulan Juni 139,19% menjadi 140,22% dibulan Juli. Sementara kenaikan ib petani mencapai 0,7388% dari 136,05% di Juni menjadi 137,05% di Juli.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rachmat Pambudy mengatakan, tata niaga komoditas pertanian masih ruwet. Meski harga komoditas melonjak, petani tak menikmati hasilnya. Untung besar hanya diraih tengkulak dan pedagang raksasa. Perlu upaya memangkas distribusi dengan membuka akses pasar bagi petani.
“Akibat dari tata niaga yang buruk ini, para petani tidak mendapatkan keuntungan layak dari produk yang dihasilkan. Keuntungan maksimal justru diperoleh broker pertanian, pedagang, dan tengkulak yang memanfaatkan rendahnya daya tawar petani dalam menentukan harga serta minimnya akses petani terhadap pasar,” ujar Rachmat
Petani asal Kecamatan Arjasa, Jember, Jawa Timur, Mulyono, menuturkan, para petani di daerahnya selama ini tetap hidup dalam kekurangan karena banyak faktor. Selain tak ada akses pasar, faktor pembiayaan juga menjadi hambatan. Petani masih selalu terjerat oleh tengkulak. Saat memulai musim tanam, petani harus mencari utangan ke tengkulak yang sekaligus menjerumuskan petani dalam lilitan utang.
“Petani kesulitan mencari utang yang berbunga rendah ke bank karena persoalan administrasi. Di tengkulak pinjam uang bisa lebih cepat, meski bunganya tinggi. Kalau sudah terjerat tengkulak, itu seperti masuk lingkaran setan. Sulit bagi petani untuk bangkit dan mandiri secara ekonomi,” kata Mulyono.kabarbisnis.com