Jurus Industri Batik Madura Rebut Pasar Lokal Jelang MEA

Syamsiah (dua dari kiri) mengajar dan menularkan skill membatik kepada anak-anak sejak usia dini agar memiliki SDM andal di pertarungan MEA nanti. foto:widikamidi

Nomor saya 081803000405. Nomor dari XL lho mas… Demikian pembuka penuh semangat saat mengunjungi Batik Sekar Tandjung, Sampang, Madura. Nama saya Syamsiah lho ya, bukan Aisyah seperti yang di tulis di Buku Batik Jawa Timur. Itu salah! Begitu katanya lagi dengan tak kendur semangat.

Syamsiah, 65 tahun, masih begitu menyala dengan batik. Perempuan pensiunan bidan ini termasuk voluntir keberadaan Batik Sampang. Setelah pensiun, fokus ke dunia batik adalah salah satu aktivitas yang membawa semangat luar biasa.

Sisi lain, sebagai mantan bidan senior, di sela kesibukannya mencipta dan bekerja keras mengerek nama batik Sekar Tandjung, ia tidak tega menolak kunjungan pasien-pasien lamanya.  Padahal pasien lama itu juga membawa membawa pasien baru seperti anak, cucu, dan menantu untuk meminta pertolongan saat kehamilan dan kelahiran datang. Jadi, kerab terlihat, orang-orang hamil dan siap melahirkan berbaur dengan orang-orang yang sedang mencanting.

Syamsiah sadar betul, bertukar nomor telpon adalah “omset”. Semakin banyak nomor telponnya beredar, makin sering pula batiknya mendapatkan pelanggan baru. Terlebih jika bertukar nomor telpon dengan penulis berita, ibaratnya seperti bertukar nomor telpon dengan seribu orang. Kalau sudah begini dia bisa berhemat dengan cetakan kartu nama.

Berbicara batik, sebagai voluntir batik di Kabupaten Sampang, nama batik Sekar Tandjung tentu sudah menjulang. Indikatornya adalah omset riil penjualan. Dalam sebulan, dihitung secara sederhana, omset Syamsiah mampu mencapai di atas seratus juta rupiah. Kalau sedang sepi, kisaran omsetnya masih mampu di angka tujuh puluh lima juta rupiah.

Omset sebesar itu biasa dikerjakan dengan 15 orang karyawan. Jika dia bersinergi dengan kawan-kawannya pembatik pewarna alam, maka omset akan membengkak mencapai 200 juta rupiah dalam sebulan. Jumlah pembatik pun juga akan lebih banyak dari biasanya, dan itu bisa mengimpor tenaga pembatik dari Kabupaten Pamekasan.

“Batik sekarang, dimana-mana, maju sangat pesat. Kawan-kawan pembatik Madura, di Sampang khususnya, makin kreatif  dan kaya dengan motif. Motif yang paling banyak dicipta adalah yang kontemporer. Saya juga membuatnya, tapi tidak banyak. Justru Sekar Tandjung lebih banyak fokus ke motif-motif tradisional. Motif-motif yang sangat Madura tentunya, dipadu dengan ikon-ikon Sampang dan muatan lokal yang hidup di dalamnya sebagai isen-isen,” ujar Syamsiah.

Isen-isen yang dimaksud Syamsiah adalah background. Isen-isen tradisional itu justru sangat disukai di Madura sendiri. Ini untuk mengembangkan pasar lokal. Isen-isen yang sangat membumi di Sampang, misalkan Burung Buraq, Bangau, Manuk Titing. Untuk dasarannya tetap menggunakan motif Sekar Tandjung. Mungkin di luar Sampang, kata dia, isen-isen seperti itu ada juga namun bentuknya beda. Sampang punya ciri khas tersendiri untuk bentuk.

Selain isen-isen itu, menurut Syamsiah, Sampang juga memiliki ikon jambu air, mente, juga ketela pohon. Ini pencanangan Bupati yang harus didukung dan dikembangkan. Jadi, di dalam Sekar Tandjung, ikon-ikon itu juga dimaksukkan dalan desain batiknya.

“Ketela pohon memang sudah menjadi ikon kabupaten lain. Sebab itu Sampang hanya mengambil  akar buahnya saja. Sebenarnya, tidak hanya ikon tambahan itu saja yang dikembangkan. Saya malah sedang giat menyosialisasikan motif baru Sekar Tandjung yang mungkin akan lebih mendekatkan dengan pecinta batik. Yaitu motif penjual sate Madura. Soto Madura. Sapi kerab. Juga nelayan-nelayan tangguh dari Madura. Ke depan juga akan memasukkan situs ratu ebu yang hanya dimiliki Sampang.”

Seiring dengan muatan tradisi yang makin dilekatkan di Batik Sekar Tandjung, Syamsiah juga makin getol menggarap pasar lokal. Pasar bebas Asean atau MEA itu, bagia dia, tentu juga akan merambah pasar batik. Kalau pasar lokal tidak dikuati, lucu jadinya kalau di wilayah sendiri kedodoran dalam menggarap pasar atau hanya jadi pemain cadangan dalam permainan pasar batik itu.

Manuk Titing yang kakinya diangkat sebelah, Burung Buraq, itulah salah satu muatan lokal andalan untuk manggarap pasar lokal. Bentuknya tidak lagi sekadar kain batik, tetapi menjelma menjadi sarung. Seiring dengan kesalehan masyarakat Madura, sarung adalah kebutuhan utama untuk menjalankan ibadah. Sekar Tandjung pun mencipta Batik Gilih. Dipasarkan luas di Pulau Mandangin. Pulau yang masuk di wilayah Sampang. “Minat mereka besar, karena ada sarung dengan gambar Buroq dan manuk Titing yang amat dekat religiusitas mereka,” pungkas Syamsiah. widi antoro

Komentar Pembaca

  1. madura harus maju
    pemuda madura
    harus mulai bangkit dan majukanlah pulau madura tersebut
    supaya jadi contoh oleh kota lain
    madura maju
    smangatlah masyarakat madura
    mudahan majju amin

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim