Garam Itu Asin Tuan

Dr. H.M. Mahmud Effendi di rumahnya di pesisir Pademawu Pamekasan dengan serangkaian pemberdayaan kepada masyarakat pesisir termasuk petani rumput laut. foto:widikamidi

Pernah terbetik berita, di Jawa Timur, akan berdiri Institut Garam. Lokasinya berada di pesisir Desa Padelegan, Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Madura.

Penggagasnya adalah seorang peraih Kalpataru lingkungan di wilayah itu, Dr. H.M. Mahmud Effendi, S.Pi., M.Si.  Jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan saat ini mengajar di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang berlokasi di Kabupaten Bangkalan.

Saya pernah bertemu dengan orang ini. Benar-benar seorang bersahaja. Ora ndayani, begitu orang Jawa bilang. Kalau diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia adalah, kelihatan seperti orang tak berdaya tapi sejatinya menyimpan kekuatan yang besar. Sebagai buktinya adalah Kalpataru lingkungan yang dianuhgerahkannya Presiden SBY di masa pemerintahan kala itu. Pemberdayaan bagi orang-orang pesisir.

Institut Garam yang digagasnya berangkat dari keprihatinannya soal per-garam-an di negeri ini. Jangankan bicara garam nasional, bicara garam lokal saja kita tidak mampu, begitu katanya. Padahal negeri ini memioliki sumber daya dan potensi laut yang sangat luar biasa. Selebihnya masyarakat juga cukup terbiasa dan mampu dengan membuat garam.

Gagasan Institut Garam itu lalu “dibawa” kemana-mana. Di-sounding-kan tak kenal lelah dengan berbagai pihak. Termasuk kepada pihak yang paling berwenang yaitu di Kementerian Pendidikan RI.

Upaya lain pun juga dilakukan. Selain pendekatan intensif kepada masyarakat, menghimpun mereka dalam kelompok-kelompok petani garam yang siap dimodernisasikan juga dilakukan. Lahan untuk keperluan Institut Garam ini bahkan sudah disiapkan. Konon, malah sudah dibebaskan. (Saya sempat menyaksikan sendiri lahan tersebut, disana-sini malah sudah tampak diurug)

Dengan gagasan Institut Garam itu, tentu Dr Mahmud melihat relevansi antara gagasan dan fakta, berikut data yang ada. Bahwa, Madura selama ini adalah daerah penghasil dan pemasok garam terbesar nasional.

Kebutuhan garam nasional yang besar saat ini hampir 70 persen diantaranya dicukupi dari sana. Jadi, jika muncul pertanyaan, mengapa institut yang rasanya spektakuler itu berada di pelosok Pamekasan Madura, adalah hal yang wajar sebab Madura adalah pemasok terbersar nasional itu.

Rata-rata produksi garam dari Madura tidak kurang mencapai 600.000 ribu ton setahun. Gambaran sebarannya, di Kabupaten Sampang saja, terdapat di tiga kecamatan. Yaitu di kecamatan Galis, Pademawu dan Tlanakan. Luas areal produksinya tak kurang dari 888 hektar. Dan hanya produksi di Kabupaten Pamekasan ini saja, pada musim kemarau normal produksi garam rakyat mencapai 90.000 ton setahun.

Namun, sayangnya, hingga kini, gagasan besar itu masih sunyi-sunyi saja. Sesunyi produksi garam nasional yang sampai detik ini terus-menerus digempur habis oleh garam impor. Andai benar jika Institut Garam itu terwujud, tentu bakal menjadi sejarah bagi Jawa Timur, yang pertama di Indonesia, dan  barangkali juga di dunia. Sejarah bagi Jawa Timur karena satu-satunya provinsi yang paling peduli dengan garam.

Membicarakan komoditas garam di negeri ini memang penuh kerepotan. Tiada habisnya. Mirip-mirip juga dengan membicarakan komoditas lain, seperti gula misalnya, dll. Alih-alih mencapai swasembada, membicarakan hal produktif saja – seperti halnya institut garam itu – harus menempuh jalan atau bertemu dengan sunyi.

Indonesia, sesungguhnya, bukan hanya berpotensi  mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya, tetapi  juga  mampu mengekspor bila penanganan produksi garam dilakukan secara tersistem, tentunya  dengan teknologi yang baik.

Karut  marut  pengelolaan  garam nasional  membuat  negeri kita tetap harus bergantung pada pasokan dari impor.  Akibatnya petani garamlah yang selalu menjadi korban.  Kalau sudah demikian, apalah artinya tambahan  stimulus  anggaran  dan  peningkatan teknologi  yang sangat berguna memproses garam dengan kualitas yang lebih baik itu.

Dengan luas lahan yang sangat besar, seharusnya Indonesia tidak mengimpor garam, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun industri. Tapi, kenyataannya tetap impor terus kan. Data  yang valid memang menjadi kendala dalam  mengetahui seberapa besar kebutuhan  garam di dalam negeri dan berapa sebenarnya kemampuan yang  bisa diproduksi di dalam  negeri.

Konon, kebutuhan garam konsumsi dan industri sekitar 3,4 hingga 3,5 juta ton. Namun, kemampuan produksi lokal hanya 1,4 juta ton. Sisanya harus didatangkan dari impor. Ada versi lain menyebutkan, kebutuhan garam nasional mencapai 4 juta ton per tahun dan kemampuan produksi lokal hanya mencapai 2 juta ton, sehingga tetap harus impor 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Diketahui, di era Pemerintahan Presiden SBY, setiap tahun pemerintah mengalokasikan dana Rp 100 miliar untuk pengembangan pemberdayaan petani garam. Dalam kondisi seperti sekarang tentu alokasi jumlah itu menjadi kurang berarti. Untuk mengejar ketertinggalan produksi garam dan menghadang laju impor, pemerintah Joko Widodo ini bisa menyuportnya lebih jauh.  Untuk pemberdayaan petani garam dan ekspansi lahan paling tidak butuh minimal Rp 1 triliun per tahun.

Pentingnya penyediaan anggaran yang besar karena masih banyak produksi garam petani kualitasnya masih di bawah standar mutu yang baik sehingga harga jualnya sangat rendah. Jadi, perlu ada langkah-langkah yang mendorong petani bisa memproduksi garam dengan kualitas baik sehingga produksinya dihargai dengan tinggi.

Untuk bisa memproduksi dengan kuantitas dan kualitas yang baik, skala produksi harus dilakukan dalam  areal yang luas. Petani harus didorong menggarap tambak garam dalam areal yang luas dengan teknologi yang baik.

Untuk itu perlu ada mekanisme lembaga yang siap membeli produksi petani. Kalau perlu fungsi Bulog ditingkat untuk mengamankan stock garam nasional, sehingga  petani tidak lagi dipermainkan dengan harga yang rendah saat panen.

Bila harga garam bisa dijaga di level yang menguntungkan bagi petani, produksi garam dipastikan akan meningkat karena potensi lahan di sentra garam seperti Madura, Cirebon, Indramayu, NTT, dan Makasar masih sangat besar dan bisa dikembangkan.

Jadi, sejatinya, kunci dari pengembangan garam nasional adalah bagaimana meningkatkan kemampuan petani dalam mengaplikasikan teknologi yang lebih baik untuk memproduksi garam. Menjamin tingkat harga yang baik dan kepastian pembeli. Semua itu, tentunya bisa dilakukan dengan anggaran yang cukup. Jadi, garam itu memang asin tuan… widi antoro

2 Komentar Pembaca

  1. setuju dengan adanya pemberdayaan gara produk lokal/ semoga mendapat dudkungan penuh pemerintah dan indonesia mampu bersaing di pasaran internasional// sehingga masyarakat madura juga bisa makmur dengan penghasilan dan produksi garamnya//

  2. terimakasih atas artikel yang sangat informatif dan sesuai dengan apa yang ingin saya ulas. bolehkah saya mengetahui kontak email/phone Bapak Mahmud Effendi guna keperluan studi pertanian garam, terimakasih sebelumnya

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim