Sekretaris Jendral Dewan Holtikultura, Gun Soetopo, di acara seminar “Dari Desa Untuk Indonesia” mengingatkan, di pasar, produk holtikultura varietasnya sangat beraneka ragam. Mulai dari produk impor dan lokal. Sebenarnya dengan adanya peningkatan ekonomi yang dikehendaki adalah kenaikan standar mutu, service dan supply. Untuk ketiga keriteria itu Indonesia belum punya.
Keadaan seperti ini membuat kondisi ekonomi biaya tinggi. Sehingga polisi, aparat, termasuk premanisme datang ke lokasi usaha. Banyak sekali sumbangan dan pungutan liar. “Kita di Indonesaia direpotkan oleh itu, 60 persen kendala usaha adalah non-teknis,” katanya.
Dari kendala yang ada seharusnya pemerintah melindungi nasib para petani. Permasalahannya, ‘pemerintahnya itu siapa?’. Untuk tingkat daerah saja, dinas terkait juga tidak paham masalah yang sebenarnya dihadapi petani. “Sekarang ini saya mengadakan gerakan gerilya untuk holtikultura,”ucapnya.
Gun berharap, para petani diedukasi, agar menjadi petani yang mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Semua komoditas holtikultura itu berprospek, dari sesuatu yang tidak berharga bisa dibuat menjadi berharga. Bukan berfokus pada komoditasnya tetapi pada varietasnya. “Sehingga ketika kita mau ekpor ada supplynya,” kata Gun.
Bahkan, kata Gun, buah ciplukan yang tadinya kurang bernilai begitu sekarang paling mahal di dunia. Bisa buat obat jantung dan menghaluskan kulit. (*/agf)