Menyelamatkan Pertanian

Pity the nation that wears a cloth it does not weave, eats a bread it does not harvest, and drinks a wine that flows not from its own wine-press. Khalil Gibran

Negeri yang dikenal berlahan pertanian luas dan subur kini merintih. Indonesia mengalami krisis kedelai dan darurat tempe.

Pelaku industri tempe dan tahu menjerit karena harga kedelai impor mahal. Persoalan klasik ini berhulu, antara lain, dari komitmen pemerintah yang kurang menyediakan lahan untuk penanaman kedelai. Penyelamatan lahan pertanian untuk bahan baku tahu dan tempe belum jadi prioritas. Penjarahan dan perampasan lahan untuk perluasan kebun sawit dan areal pertambangan terus berlangsung di sejumlah daerah; yang pada gilirannya menyusutkan lahan pertanian pangan, sementara kebutuhan pangan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk.

Termarjinalkan

Peran pertanian untuk pembangunan ekonomi perlahan melemah. Kehadirannya sebagai penyokong utama kebutuhan pangan masyarakat termarjinalkan oleh hiruk-pikuk kemajuan sektor industri dan jasa. Bangsa ini menyandang predikat negara agraris, tetapi pemerintahnya punya hobi impor segala jenis pangan untuk kebutuhan dalam negeri.

Ironis! Sebagai negara agraris, jutaan hektar lahan subur, anggaran di Kementerian Pertanian cukup gemuk, tersedia program kerja peningkatan ketahanan pangan, sebagian besar penduduknya bertani, tetapi Indonesia acap dihinggapi karut-marut ketahanan pangan. Lahan yang luas tak menjamin sektor pertanian jadi tulang punggung perwujudan kedaulatan pangan dan pemerataan kesejahteraan petani.

Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan kedaulatan pangan sejak lama sudah disuarakan. Tak sekadar berorientasi pada swasembada beras dan kedelai untuk pilar pertumbuhan ekonomi dan menekan kemiskinan, tetapi lebih jauh dari itu: kedaulatan pangan memberikan ruang untuk kian stabilnya kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri. Rumusan itu tidak berlebihan sebab pangan bisa jadi senjata politik manakala sebuah negara sangat bergantung pada negara lain. Pangan juga bisa menjadi pemantik kerawanan sosial ketika kebutuhan tak tercukupi dan itu menetaskan anarki warga negara. Singkatnya, pangan menempati posisi strategis dalam berbangsa dan bernegara sebab urusannya: perut.

Namun, petani di negeri subur makmur ini rudin karena hege- moni pembangunan industri. Kesejahteraan hidup pahlawan kedaulatan pangan ini terus dibalut lingkaran kemiskinan. Meski suatu daerah dikenal sebagailumbung beras di Tanah Air, petaninya tak mencerminkan dae- rah berlimpah beras. Kemiskinan struktural menggilas kehidupan mereka sepanjang waktu.

Berbagai janji pemerintah dalam teks revitalisasi pertanian tahun 2005 belum serius dilaksanakan. Upaya yang seharusnya dimulai dari hal paling mendasar, seperti pembangunan dan perbaikan irigasi hingga jalan desa, masih jalan di tempat. Bukankah pemerintah wajib menjamin pemenuhan berbagai sarana produksi yang dibutuhkan petani, mulai dari benih unggul, pupuk, obat-obatan, hingga alat dan mesin pertanian?

Lebih serius

Pembangunan pertanian patut dilakukan lebih serius untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Kesadaran itu tentu berimplikasi ekonomi: semua energi dan sumber daya pembangunan akan diarahkan untuk menyelamatkan sektor ini guna meningkatkan produksi berbagai jenis pangan sehingga semua warga dapat mengaksesnya karena terjangkau daya beli.

Pemerintah harus punya kemauan politik menyelamatkan sektor pertanian agar tak lagi termarjinalkan oleh arus industrialisasi yang didukung kekuatan kapital berskala besar. Jika pemerintah gagal menjaga stabilitas harga pangan dan hanya fokus pada peningkatan produksi beras, akan lahir persoalan serius di tengah bangsa ini, yakni jumlah penduduk rawan pangan bertambah signifikan dan berpotensi mengalami kegelisahan sosial.

Politik pangan impor yang selama ini dijalankan pemerintah guna mengatasi kemiskinan sudah saatnya diakhiri. Dengan mengatur tata niaga beras dan kedelai sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Jika sektor pertanian selalu diposisikan untuk menyediakan beras dan kedelai dengan harga murah guna mengamankan vari- abel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan), ini artinya pemerintah lebih memihak pada konsumen ketimbang kesejahteraan petani. Keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi semakin lama kian melemah.

Menyelamatkan pertanian patut difasilitasi dengan menyediakan anggaran yang cukup untuk pembangunan jalan desa, penyediaan benih unggul, pupuk, serta peralatan mekanisasi pertanian dan pengolahan hasil pertanian. Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korea Selatan, negara yang besar-besaran menyubsidi petani guna meningkatkan produksi dan ketersediaan pangan. Mereka menyadari masalah kebutuhan dasar ini tak boleh bergantung pada negara lain.

Posman Sibuea Guru Besar Ketahanan Pangan Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan, Direktur Tenfoser/Harian Kompas 10 Agustus 2012

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim