Jangan (Lagi) Sakiti Nelayan

Ilustrasi (Photo: ANTARA News)

Akibat isu kenaikan BBM yang digulirkan pemerintah sejak satu bulan lalu, masyarakat pesisir di sejumlah daerah dan nelayan di pulau-pulau kecil harus ikut menanggung derita. Harga solar dan bensin meroket di atas Rp 7 ribu per liter, bahkan di Kepulauan Sumenep sempat menyentuh Rp 16 ribu per liter. Seiring merebaknya isu tersebut kelangkaan BBM juga terjadi di sejumlah daerah pesisir lainnya, harga komoditas sembilan bahan pokok termasuk gas elpiji melambung 25-30 persen.

Nakhoda kapal Republik Indonesia pilihan rakyat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mungkin karena lelah tidak sempat meminta maaf atas keresahan masyarakat pesisir. Isu sentral perekonomian nasional yang digulirkan menjelang bulan April telah membuat keluarga nelayan meradang. Tak terhitung kerugian materi dan kedongkolan nelayan akibat tidak bisa melaut karena harga eceran BBM di atas harga kewajaran.

Kita patut mengapresiasi kejujuran SBY bahwa selama menjabat sebagai presiden telah menaikkan dan menurunkan harga BBM sebanyak tiga. Akan tetapi perlu diingat, dihapusnya harga subsidi minyak tanah yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat miskin sangat menyakitkan perasaan nelayan. Untuk mensiasati mahalnya solar dan bensin, minyak tanah sangat dibutuhkan, dicampur oli digunakan melaut agar mesin kapal irit dan ekonomis (Irek).

Minyak tanah sangat dibutuhkan keluarga nelayan di rumah maupun di atas kapal untuk menanak nasi, menjerang air, menggoreng ikan hasil tangkapan. Pak SBY yang lahir di kota pesisir Pacitan, Jawa Timur tentunya lebih faham, betapa susahnya keluarga nelayan apalagi tanpa kehadiran minyak tanah.

Sekedar mengingatkan, nelayan tradisonal Pacitan menggunakan biduk bercadik, menerjang Samudera Indonesia dan setiap hari bertaruh nyawa demi menghidupi keluarganya. Bedanya, dulu ikan masih mudah ditangkap di teluk Teleng, Pacitan tidak jauh dari rumah tempat SBY dilahirkan.

Naik tidaknya harga BBM bagaimana pun tetap akan menyulitkan kehidupan nelayan yang di laut dimainkan gelombang, di darat menjadi bulan-bulanan tengkulak itu. Banyak program pemerintah diklaim menyejahterakan nelayan. Seperti pengadaan seribu kapal hibah dan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Akan tetapi, program tersebut ibarat jauh layar dari tiangnya. Simak pengadaan kapal nelayan 30 GT seharga Rp 1,5 miliar per unit. Menurut kalkulasi di atas kertas, setiap kapal dengan jaring purse seine atau payang dalam satu trip (tujuh hari) diyakini mampu menghasilkan 4 ton ikan.

Biaya melaut kapal dengan menggunakan marine engine 173 PK memerlukan Rp 40-60 juta, sedangkan hasilnya bisa mencapai Rp 80 juta. Kelompok nelayan yang mayoritas kurang mampu harus menggandeng mitra memodali usaha melaut. Sistim keuntungannya pun diterapkan bagi hasil dengan pemilik modal, sisanya dibagi dengan Anak Buah Kapal (ABK). Dikwatirkan jika hasil tangkapan tidak mampu menutupi biaya operasional, hal itu akan menjadi beban kelompok. Ironis, jika pada akhirnya kapal disita pemilik modal akibat akumulasi utang kelompok yang tidak mampu memenuhi kesepakatan kuota hasil tangkapan.

Bagi kelompok nelayan Mandiri, modal melaut tidak menjadi masalah. Hasil tangkapan dibagi dengan 25 anggota kelompok yang merangkap ABK. Rata-rata setiap nelayan memperoleh Rp 30-50 ribu per hari, plus bonus jika mendapat ikan lebih dari yang ditargetkan. Sayangnya pengadaan kapal bantuan untuk nelayan tidak diimbangi dengan melestarikan sumber daya ikan (SDI). Degradasi SDI terbukti menyebabkan banyak kapal tuna memilih parkir daripada melaut. Sebagai ilustrasi, lima belas tahun lalu, hook rate kapal longline dengan seratus mata pancing memperoleh 5 ekor ikan tuna. Saat ini per seribu mata pancing dengan umpan tiruan (rapalan) atau ikan bandeng, umumnya hanya menangkap 3 ekor tuna seberat 50-70 kilogram per ekor seharga Rp 30-35 ribu per kilogram.

Dua tahun lalu pemerintah mencanangkan penggunaan gas sebagai pengganti solar dan bensin untuk perahu nelayan tradisonal. Di Pelabuhan Lekok, Kabupaten Pasuruan misalnya, 250 tabung berisi compressed natural gas (CNG) dibagikan kepada nelayan tradisional. Asumsinya mampu menghemat 10-16 persen biaya operasional, ternyata tabung gas hanya menjadi pajangan di rumah nelayan, sebagian diantaranya terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain tidak mempunyai station pompa gas (SPBG), pasokan gas tidak dikirim rutin dan akhirnya terhenti sama sekali dengan berbagai alasan. Nelayan kembali melaut menggunakan solar atau bensin di tengah cuaca ekstrim dan hasil tangkapan yang tidak pasti pula.

Birokrasi tenyata juga ikut andil mempersulit nelayan dalam hal perijinan. Sangat disesalkan pengurusan ijin kapal terjadi dualisme dan diskriminasi. Berbelitnya prosedur perijinan cenderung memperlakukan nelayan sebagai sapi perahan. Administratur Pelabuhan di bawah Kementerian Perhubungan mewajibkan kapal nelayan memiliki surat ukur kapal, pas tahunan, sertifikat kelaikan dan pengawakan. Akan tetapi tidak semua lokasi tempat pendaratan ikan dilengkapi fasilitas tersebut, sehingga nelayan bersama kapalnya harus menempuh ratusan kilometer dengan biaya tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikat laik laut.

Biaya ini belum termasuk ongkos administrasi pengurusan diluar ketentuan yang besarnya mencapai puluhan kali lipat. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan mewajibkan pula kapal nelayan mengantongi Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), ijin penangkapan (SIPI) Surat Izin Pengangkutan Ikan (SIKPI) agar kapal tidak ditangkap saat melaut karena dianggap ilegal.

Pada tanggal 6 bulan April ini diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Perlu dicatat bahwa di negeri bahari ini profesi nelayan semakin tidak diminati karena sarat ketidak pastian dan kental nuansa kemiskinan. Warisan budaya bahari yang menjadi entitas bangsa Indonesia sejak zaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit, lambat laun memudar sinarnya dan nyaris tenggelam bukan oleh ganasnya gelombang.

Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir menjadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan BBM, harga sembako, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistim pesisir dan cuaca ekstrim serta maraknya illegal fishing. Perlahan tetapi pasti kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang seharusnya layak dihargai karena setia menekuni kearifan budaya bahari.

(Oki lukito, Opini Kompas dan Bisnis Indonesia)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim