Harga Ikan Melonjak Terkerek Cuaca Ekstrim

ilustrasi

Akibat cuaca ekstrim yang terjadi sejak Januari lalu, sejumlah nelayan tradisional tidak bisa melaut. Sontak, harga ikan mengalami kenaikan hampir dua kali lipat. Sementara bantuan kapal dari pemerintah dengan bobot 30 Gross ton (GT), dinilai tak banyaik mendukung karena biaya operasionalnya yang tinggi, terutama BBM.
Hal tersebut diungkapkan oleh Presidium Serikat Nelayan Indonesia, Abdul Wahab. Menurut warga Situbondo ini, nelayan terpaksa menaikkan harga ikan baik di tempat pelelangan ikan (TPI) maupun di luar TPI karena selain dari cuaca, biaya operasional yang ditanggung nelayan cukup tinggi.

Apalagi, dalam waktu dekat ini, nelayan akan dihadapkan dengan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Justru kondisi tersebut akan menambah beban hidup bagi nelayan yang selama ini termarginalkan hak-haknya oleh Pemerintah.

Untuk harga cumi-cumi, ia menjelaskan harganya sudah naik dari Rp 28.000 menjadi Rp 40.000 per kg, harga ikan tongkol dari Rp 7.000 menjadi Rp 14.000 per kg. Selanjutnya harga ikan pindang naik dari Rp 8.000 menjadi Rp 12.000 per kg. “Kami menaikkan harga karena tidak ada pilihan lain untuk menutupi biaya operasional yang terus membengkak. Agar kami tidak tekor,” katanya, ditemui di Hotel Istana Permata Ngagel Surabaya, Minggu (18/3).

Ia menambahkan, meski ada bantuan dari pemerintah melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada nelayan yang tidak melaut akibat cuaca ekstrim, namun dalam implementasinya bantuan tersebut belum efektif. Hal itu, jelas dia, karena ada beberapa kabupaten/kota yang belum memiliki Perda bencana daerah.

Selain itu, kapal bantuan dari pemerintah dengan bobot 30 Gross ton (GT) dinilai belum banyak membantu nelayan. Sehingga nelayan ada yang menolak. “Nelayan menolak bantuan kapal 30 GT karena secara teknis mereka tidak bisa mengoperasikan dan biaya operasional dari kapal tersebut tinggi karena BBM yang dikeluarkan banyak sekitar 500 liter sekali melaut. Berbeda dengan kapal tradisional yang hanya 100 liter,” imbuhnya.

Sehingga, kata dia, solusi bantuan kapal 30 GT bagi nelayan tradisional tidak tepat di saat kemampuan SDM nelayan tradisional tidak ada. Dan tidak ada penambahan kuota BBM bersubsidi. “SDM harus ditingkatkan dulu, baru nelayan tradisional bisa mengoperasikan kapal 30 GT. Kalau tidak ada solusi, hasil tangkap kami turun,”imbuhnya. Ia mengklaim, sekitar 70% dari produksi ikan di Jawa Timur berasal dari nelayan tradisional.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Sih Hatin, mengatakan, nelayan di Jawa Timur belum bisa melaut karena faktor cuaca. Ia tidak mengelak bahwa kenaiakan harga ikan tidak bisa terhindarkan. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan bantuan berupa sembako kepada nelayan yang tidak bisa melaut.

“Ada beberapa bulan yang rawan bagi nelayan untuk melaut. Seperti bulan Desember Januari tidak ada yang melaut karena ombak besar. Pemprov Jatim dan Pemda sudah memberikan bantuan kepada mereka,” ujarnya.

Disamping itu, ia mengatakan dalam tahun ini sudah ada 12 kapal dengan bobot 30 GT yang sudah diserahkan kepada nelayan di Jawa Timur. Mengenai produksinya, ia menjelaskan ada beberapa Kabupaten yang menyerahkan data produksi ikan tangkap belum valid. Disisi lain, nelayan ada yang menjual hasil tangkapnya di tengah laut yang lolos dari pendataan.surabayapost online

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim