Pedagang Keliling pun Pilih Sayur Impor

ilustrasi

Komoditas hortikultura impor kian deras membanjiri pasar dalam negeri. Tidak hanya bawang putih dan kentang, wortel impor pun kini sudah memenuhi lapak pedagang sayur-mayur kecil di pasaran.

Sutikno, pedagang sayur-sayuran di Pasar Pagesangan Surabaya, misalnya, kini lebih memilih menjual wortel impor dibanding wortel lokal. Padahal sebelumnya, dia hanya berjualan komoditas sayur-mayur lokal saja, termasuk wortel lokal. Banyak penjual sayur keliling yang juga membeli hortikultura impor dari Sutikno, untuk kemudian dipasarkan di kampung-kampung.

“Harga wartel lokal Rp7.000 per kilogram, sementara wortel impor hanya Rp7.500 per kilogram. Ya saya pilih jualan wortel impor karena orang lebih suka,” ujar Sutikno, Surabaya, Selasa (10/1/2012).

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Dinas Pertanian Jawa Timur, Bambang Heryanto, menyesalkan membanjirnya produk hortikultura di pasar Jatim. Pasalnya, produksi komoditas hortikultura Jatim sebenarnya cukup besar, bahkan surplus.

“Semua surplus. Untuk komoditas wortel, produksi kita mencapai 45.096 ton per tahun, sementara kebutuhan di Jatim hanya mencapai 25.990 ton. Masih surplus 19.106 ton,” ujar Bambang.

Untuk kentang, produksi mencapai 110.459 ton, sedang kebutuhan Jatim hanya sebesar 45.140 ton, surplus 65.319 ton. Produksi cabai merah sebesar 774.023 ton sedangkan kebutuhan 22.486 ton, surplus 751.537 ton. Bawang merah 217.306 ton, konsumsi hanya 101.185 ton, surplus 116.121 ton, dan produksi cabe rawit mencapai 147.930 ton sedangkan kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Jatim mencapai 48.659 ton, surplus 99.271 ton.

“Saya juga tidak habis pikir, kenapa impor cukup banyak. Apakah ini untuk memenuhi kebutuhan segmen lain atau bagaimana. Regulasinya saya tidak mengerti. Namun kami sangat menyayangkan kondisi ini, karena akan menjadikan petani terpuruk. Harga produk lokal akan bergerak turun seiring dengan derasnya produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri,” tegasnya.

Kepala Bidang Produksi Hortikultura Dinas Pertanian Jatim, Sita Ratih Purwandari menambahkan, gempuran sayur mayur impor akan membuat petani kelimpungan. Karena secara kuantitas, kebutuhan dibanding produksi masih sangat berlebih. Sebab, konsumsi sayur mayur masyarakat Jatim masih sekitar 50% dari standar konsumsi sayur mayur secara nasional.

“Harusnya ada regulasi yang bisa melindungi petani, karena ketika mereka dibiarkan bertarung sendiri dengan produk impor, jelas kalah. Masyarakat kita lebih suka dengan produk impor dibanding produk lokal, karena tampilan lebih menarik,” ungkap Sita.

Harusnya Indonesia meniru Australia, ketika terjadi banjir dan produksi pertanian hancur, pemerintah tidak serta-merta membuka keran impor. Padahal harga berbagai komoditas pertanian melonjak cukup tinggi.

“Harga buah pisang misalnya, saat bencana banjir kemarin, melonjak di kisaran US$15 per kilogram, padahal harga normalnya hanya US$1 per kilogram. Dalam kondisi tersebut, pemerintah Australia justru memberikan pengertian kepada masyarakat dan mengimbau untuk tetap membeli dengan harga tinggi untuk membantu petani bangkit dari keterpurukan,” katanya.

“Itu yang mereka dengung-dengungkan. Tidak malah langsung membuka keran impor, seperti Indonesia ketika harga cabai naik tinggi akibat produksi turun langsung tancap gas impor cabai,” imbuhnya. kabarbisnis.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim