Pikir Ulang Garis Kemiskinan Nasional

Ilustrasi

Harian ini beberapa waktu lalu mengangkat berita yang mempertanyakan kebenaran angka statistik kemiskinan yang menurun tahun ini jadi 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari jumlah penduduk. Padahal, kenyataannya kemiskinan dapat ditemukan di setiap sudut Indonesia.

Sebenarnya, Wakil Presiden Boediono sendiri telah mengungkapkan persoalan tersebut dalam pengarahannya pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, awal Desember 2010. Wapres dengan tegas telah meminta agar komitmen untuk mengurangi kemiskinan secara nasional jangan dijadikan sekadar bermain-main dengan angka statistik, tapi harus benar-benar diwujudkan dalam bentuk tercapainya kesejahteraan. Pertanyaannya, mengapa angka kemiskinan kita berbeda antara statistik dan kenyataan?

Penjelasan tentang perbedaan antara penurunan angka statistik dan kenyataan kemiskinan bukanlah sesuatu yang sulit. Paling tidak terdapat dua argumentasi utama mengapa demikian.

Pertama, angka statistik bukan indikator ”hidup” yang mampu untuk menjelaskan potret nyata kemiskinan. Angka statistik hanya indikator penunjuk suatu keadaan dengan batasan metode tertentu yang dipakai.

Kedua, konsep dan definisi garis kemiskinan (GK) yang dipakai pemerintah selama ini yang bermasalah dan ketinggalan zaman. Dikatakan demikian karena, pertama, GK yang dipakai adalah GK absolut berdasarkan ukuran pengeluaran dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh Badan Pusat Statistik. Kedua, GK tersebut hanya merefleksikan ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar manusia saja, yaitu kalori dan 52 jenis komoditas bukan makanan. Dengan pengukuran ini, kalori dapat dipenuhi dengan komponen makanan tinggi kalori tapi berharga rendah. Akibatnya, GK absolut nilainya jadi rendah.

Ketiga, pemilihan 52 jenis komoditas bukan makanan nilai keabsahannya tak dapat dipertanggungjawabkan. Selain karena pemilihan tersebut arbiter, juga yang terpenting jumlah kebutuhan non-makanan penduduk miskin tidak dapat diseragamkan. Bisa saja jumlah kebutuhannya lebih besar atau lebih sedikit dari 52 jenis komoditas non-makanan sehingga memengaruhi nilai rupiah dari GK absolut.

Keempat, GK absolut tersebut tak memperhitungkan zat nutrisi lain seperti protein yang diperlukan penduduk miskin. Akibatnya, tak mengherankan jika angka statistik dan kenyataan kemiskinan tak pernah nyambung. Oleh karena itu, sudah saatnya GK absolut resmi pemerintah perlu dipikir ulang.

Relatif dan subyektif

Catatan penting dalam pemikiran ulang GK resmi tersebut sebagai berikut.

GK absolut resmi pemerintah perlu diperluas atau dilengkapi dengan GK relatif dan subyektif sebagai pengukuran kemiskinan nasional. Cara pengukuran GK relatif, misalnya, menggunakan patokan besarnya rata-rata pendapatan atau pengeluaran masyarakat tempat seseorang tinggal. Sementara untuk GK subyektif dapat didasarkan pada nilai atau angka pendapatan/pengeluaran yang dipersepsikan seseorang terhadap dirinya sendiri.

Pentingnya tambahan dua GK dalam pengukuran jumlah atau proporsi penduduk miskin nasional karena, dalam kenyataannya, masyarakat biasanya tak hanya membandingkan tingkat kehidupan mereka antarwaktu. Akan tetapi juga pada waktu bersamaan membandingkan tingkat hidupnya relatif terhadap lingkungan sekitar mereka.

Selain itu, dua tambahan GK tersebut juga mampu mengakomodasi persepsi tingkat kemiskinan yang dialami penduduk miskin. Masalah persepsi inilah yang sebenarnya akar penyebab mengapa angka statistik dan kenyataan kemiskinan nasional tak ngeklop dan selalu diributkan. Dengan kata lain, secara statistik angka kemiskinan absolut benar turun, tapi masyarakat punya persepsi bahwa tingkat kemiskinan atau kesejahteraan tidak mengalami penurunan.

Penambah GK relatif dan subyektif memang dapat memperbesar angka statistik penduduk miskin sehingga menimbulkan dampak negatif sosial ekonomi dan politik. Dampaknya dapat berupa keengganan investor menanamkan modal, bahkan mungkin dapat juga menurunkan kredibilitas rezim yang berkuasa.

Namun, harus juga diakui adopsi garis kemiskinan yang lebih luas cakupan dimensinya memiliki banyak keuntungan. Selain memotivasi kita untuk lebih bekerja keras, juga dapat memacu rumusan kebijakan pembangunan nasional berkualitas secara keseluruhan.

Oleh karena itu, sudah saatnya GK resmi yang kita gunakan sekarang—ke depan—diubah dan dipikir ulang. Apalagi teriakan nyaring kita semua untuk menjadi bangsa yang beradab, mandiri dan berdaya saing, seperti halnya bangsa-bangsa lain, sudah sangat memekakkan telinga. Kapan lagi kita harus memulai kalau bukan sekarang.

Carunia M Firdausy Guru Besar Universitas Tarumanagara dan Profesor Riset Bidang Ekonomi Pusat Penelitian Ekonomi LIPI/kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim