2012, Otonomi (Daerah) Terancam

Ilustrasi

Isu penataan kembali otonomi daerah di Indonesia mengemuka bersamaan dengan munculnya keinginan mengubah mekanisme pilkada langsung ke tangan DPRD kembali.

Pemicu lain terkait isu sanksi kepada kepala daerah oleh Presiden dalam rancangan revisi UU Pemerintahan Daerah, dan di tengah pusaran isu otonomi Papua, isu pemekaran daerah, serta agenda penyelesaian RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Ihwal penataan otonomi merupakan tantangan eksistensial karena menyangkut keberadaan negara-bangsa. Penataan otonomi daerah akan jadi ancaman ke depan lantaran makin kuatnya gerak sentrifugal. Sekali kita keliru mengelola otonomi daerah, akibatnya tentu fatal terhadap bangunan NKRI.

Gerak sentrifugal

Gerak sentrifugal dari sebuah negara-bangsa adalah proses memudarnya bangsa tersebut. Lawannya adalah gerak sentripetal, yakni gerak memusat dan menguatnya pembangunan bangsa. Perpudaran tersebut semakin nyata dalam konteks hubungan pusat dan daerah.

Gerak sentrifugal yang terjadi dalam otonomi daerah Indonesia berproses dalam dua aras utama: lokal dan nasional. Sebetulnya aras global pun berperan, tapi tak dibahas di sini. Dari aras lokal ada dua hal yang menjadi sumber gerak sentrifugal, yakni (a) lembaga DPRD; dan (b) peran masyarakat lokal vis a vis pengisian jabatan lembaga politik lokal.

Lembaga DPRD adalah lembaga politik lokal, berfungsi mengatur berbagai urusan yang telah diserahkan kepada masyarakat setempat. Dengan demikian, anggota DPRD harus diterima secara luas oleh masyarakatnya.

Gerak sentrifugal dari aras lokal negara-bangsa Indonesia adalah gerakan memudarkan konsep otonomi mengarah menjadi sebuah kedaulatan. Tanda-tanda yang muncul adalah keinginan yang kuat bahwa (1) DPRD setara dengan parlemen nasional karena merasa eksistensi lembaga perwakilan ini adalah semata-mata untuk nilai demokrasi dan wewenangnya diyakini berada di luar kekuasaan eksekutif; dan (2) argumentasi pilkada langsung yang hanya dikaitkan dengan nilai demokrasi secara mutlak, bukan sebagai cara untuk mendapatkan nilai penerimaan masyarakat lokal.

Sementara dari aras nasional menyangkut dua sumber lain, yakni (a) lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD); dan (b) hubungan pusat-daerah yang cenderung mengarah ke pola kekhususan-kekhususan daerah.

Idealnya, otonomi daerah itu, dalam aras nasional, merupakan cerminan demokratisasi pemerintahan. Dengan demikian, DPD sejatinya bukanlah perwakilan dari sebuah kedaulatan, melainkan merupakan saluran agar kebijakan nasional yang dibuat mampu memperhatikan situasi lokal yang terjadi. Kini muncul aspirasi yang sangat kuat dari sejumlah elite bangsa Indonesia untuk menempatkan lembaga DPD sebagai lembaga yang kuat, yang mampu menganulir kebijakan pemerintah pusat.

Sementara itu, ancaman hubungan pusat-daerah juga tidak ringan dihadapi karena begitu luas dan besarnya bangsa Indonesia. Secara geografi pun demikian, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.

Namun, sebagai negara kesatuan, seharusnya terdapat basic structure antardaerah berpola simetris yang tertuang dalam UUD dan UU pemerintahan daerahnya. Pola asimetris dapat terjadi dalam hal urusan-urusan yang dikembangkan karena perbedaan aspirasi pemerintahan. Ternyata, dalam praktiknya, heterogenitas bangsa mendorong sejumlah pihak berpikir untuk menerobos konsep basic structure ini.

Kualitas sentripetal

Gerak sentrifugal akan melemah jika gerak sentripetal yang terjadi berkualitas. Kualitas gerak sentripetal bergantung pada kualitas kerja berbagai instrumen negara yang digunakan dalam meraih tujuan-tujuan bangsa yang, antara lain, terdiri atas instrumen otonomi daerah itu sendiri, birokrasi sipil-militer pusat yang dikembangkan, pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN), dan mekanisme pasar.

Kualitas kerja alat-alat negara dalam gerak sentripetal ini harus dapat memenuhi harapan bangsa Indonesia secara efektif. Instrumen otonomi daerah yang berkualitas harus berimbas kepada kesejahteraan, demokrasi dan keadilan, serta pembangunan bangsa secara nyata. Birokrasi sipil-militer pusat harus mampu menjadi agen perubahan yang nyata agar kualitas hidup dan standar pelayanan publik merata di penjuru republik. Dan, akhirnya, BUMN harus menjadi alat pembangunan ekonomi yang efektif dan mampu bersaing, baik dalam pasar nasional maupun internasional.

Dalam hal ini, Presiden dan DPR adalah tim pengatur yang paling bertanggung jawab secara menyeluruh. Presiden tentu dibantu oleh jajaran kabinetnya sebagai pengelola kerja instrumen-instrumen tersebut.

Akhirnya, terutama di tangan Kemendagri sebagai pembantu Presiden, nasib otonomi daerah dalam bingkai NKRI dipertaruhkan di 2012 dan ke depan.

Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim