Industri Rokok Mulai Berguguran

Industri rokok di wilayah Surabaya kian merana. Selain karena harga cengkih yang melambung tinggi, adanya UU Nomor 36 tahun 2009 maupun RPP tembakau yang memberatkan mereka untuk berkembang. Akibatnya, dari 27 pabrik rokok yang ada kini tinggal 11, sekitar 59% industri rokok di Surabaya gulung tikar.

Menurut Koordinator Komunitas Kretek Wilayah Surabaya, Aryo Yudanto, polemik tentang pro dan kontra produk tembakau kian hari kian memanas. Pemerintah seakan menabuh genderang perang terhadap industri rokok. Dengan dalih kesehatan, pemerintah mengeluarkan beragam regulasi yang memberatkan industri rokok. Seperti dikeluarkannya RPP tembakau, menaikkan tarif cukai, bahkan gerakan anti rokok terus digalakkan.

Padahal, di sisi lain pemerintah tidak melihat dampak dari kebijakan tersebut, yaitu banyak industri rokok yang gulung tikar. “Kata kesehatan banyak dilontarkan untuk memerangi rokok seperti FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang dikeluarkan lembaga kesehatan dunia WHO. Jika menengok UU Kesehatan no 36 tahun 2009 maupun RUU tembakau, maka sangat tampak bahwa regulasi tersebut merupakan adopsi total terhadap rumusan FCTC yang mengakibatkan sekitar 59% industri rokok di Surabaya harus gulung tikar,” katanya

ilsutrasi: surabayapost online

Dia menambahkan, pemerintah bergerak sangat masif. Bukan hanya pada tingkat pusat tapi juga menusuk masuk ke daerah-daerah dengan membiayai pembuatan Perda, Pergub, Perwali dan peraturan daerah lainnya dengan tujuan menekan produksi konsumsi kretek. Pada tahun 2007, terdapat 27 pabrik rokok di Surabaya.

Namun, akhir tahun 2010 menyusut menjadi 11 pabrik dan itu pun sudah beralih ke pihak asing. Dari hulu sampai hilir, industri rokok melibatkan 30 juta orang lebih. “Di sisi lain, sedikit orang yang mengetahui data dan fakta di balik industri rokok kretek. Kretek lahir dari industri dengan muatan impor yang rendah hanya 4%. Selebihnya dari bahan baku lokal,” lanjut Aryo.

Mengenai sumbangan cukai dari industri rokok, Aryo menjelaskan penerimaan Negara dari cukai rokok pada tahun 2010 sebesar Rp 55,3 trilliun dari total penerimaan cukai yang mencapai Rp 58,3 tirlliun atau 93% dibayarkan oleh konsumen kretek. Begitu juga pada tahun 2005 hingga 2008 silam, penerimaan cukai Negara didominasi oleh cukai rokok.

“Rata-rata kontribusi cukai rokok di tahun 2005 hingga 2008 sebesar 97,8% dengan rata-rata pertumbuhan 15,2%. Oleh sebab itu kami menolak kebijakan Pemerintah diantaranya UU no 36 tentang kesehatan dan RPP tembakau, ” pungkasnya.

Di tempat terpisah, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Surabaya (Gaperos), Sulami Bahar, membenarkan jika banyak pabrik rokok di Jatim berhenti beroperasi karena adanya peraturan Pemerintah yang merugikan mereka. Ia memaparkan pabrik rokok di Jawa Timur yang sampai saat ini masih bertahan sekitar 1.100 pabrik.

“Perusahaan rokok yang tergabung dengan kami (Gaperos) sebanyak 9 perusahaan, salah satunya PT HM Sampoerna, PT Nusa Prima, dan lain-lain. Perusahaan rokok itu ada sebagian yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM),”jelasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan di era tahun 2005-an sebelum regulasi dari pemerintah digulirkan, industri rokok sempat mengalami kejayaan. Tapi mulai tahun 2009 sejak regulasi tentang tembakau hendak digulirkan, sebagian besar industri rokok mulai khawatir. “Kalau regulasi dari WHO terus bergulir, maka tidak menutup kemungkinan satu per satu industri rokok di Jatim bakal berguguran,”pungkasnya. surabayapost online

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim