Pertanian sebagai Profesi

Ilustrasi

Manusia seharusnya memiliki harapan dan cita-cita, baik besar maupun kecil, secara pribadi maupun berkelompok.

Untuk itu ada profesi dengan target dalam wujud nyata ataupun tidak, materiil maupun waktu pencapaiannya, sehingga manusia seharusnya berikhtiar dan bekerja keras agar bisa sampai.

Sebagaimana ada harapan tentu ada tantangan. Dengan demikian, selalu ada ideologi yang setiap manusia harus berpegang, dalam arti kata: manusia mempunyai harapan dan cita-cita untuk mewujudkan. Bukankah kita berbangsa juga memiliki Pancasila sebagai ideologi kita bernegara-bangsa, yang kita dambakan untuk bisa mewujudkan.

Ideologi pertanian

Dalam arti pertanian yang sangat luas, pelaku profesi pertanian saya sebut petani. Katakan pelaku tani yang memegang cangkul di sawah, nelayan yang menabur jaring di tengah laut, birokrat yang mengatur kebijakan sektor pertanian di belakang meja bironya, kalangan perbankan yang meluncurkan kredit, peneliti atau pendidik bidang pertanian di laboratoriumnya yang berhadapan dengan peserta didik pertanian atau tidak, semua itu manusia petani yang seharusnya memiliki ideologi pertanian. Ideologi ini bukan berarti sempit seperti yang diartikan berkaitan dengan keyakinan politis atau isme partai politik tertentu.

Kalau pertanian itu kita artikan sebagai suatu profesi, seharusnya tidak diberi konotasi sempit. Apalagi dengan stigmanya yang serba kurang mengena, seperti kemiskinan, kesahajaan pikiran dan tingkat pendidikan, serta keterbatasan sarana. Semua itu membuat pertanian dengan jajaran petaninya yang luas lalu hanya menjadi profesi dengan pelaku tani yang sepertinya tidak memiliki ideologi.

Pertanian lalu tidak berupa suatu profesi yang hanya meneruskan budaya pendahulunya, tidak lebih bisa memandang ke masa depan. Pertanian tidak lagi dipatok hanya sebagai penghasil bahan baku mentahan, tidak dirasakan berada dalam suatu sistem, dan setiap komponen sebagai satu subsistem.

Berpikir secara sistem belum lazim dimiliki oleh segenap komponen pertanian sehingga pertanian tidak dipahami sebagai profesi dalam satu sistem yang utuh dan dengan ideologi yang kuat. Apalagi kalau pemikiran yang jauh ke depan bukan menjadi target harapan dan cita-cita sehingga keprofesiannya menjadi tumpul dan beku.

Ideologi pertanian yang harus kita kembangkan adalah dari tradisional ke nontradisional. Itu berarti dari berbasis lahan menjadi lebih berbasis kapital, dari non-industrial menjadi industrial, dari sekadar impas menjadi berorientasi nilai tambah, dari hanya sampai berproduksi bahan baku mentahan menjadi penghasil bahan baku industrial, khususnya industri pedesaan.

Semua itu merupakan ideologi pertanian sebagai profesi yang berpikiran sistem dan melingkupi segenap subsistem (stakeholders), baik yang berperan langsung maupun tidak langsung, berprofesi di lapangan maupun di belakang meja, menghasilkan produk nyata maupun berupa konsepsi dan rekayasa.

Perubahan ideologi demikian bukan masalah kecil tentunya karena menyangkut ranah pendidikan profesional dan kepentingan yang sangat luas. Namun, kalau dimulai dari mengubah pemikiran, kemudian pandangan, akhirnya bisa menjadi arahan kebijakan, siapa tahu benar-benar menjadi ideologi petani. Dengan demikian, profesi pertanian bisa membawa hasil akhir suatu kualitas hidup berbangsa yang sangat tinggi. Cetusan perubahan menjadi industrial nontradisional ini perlu banyak dikemukakan kepada publik.

Kedaulatan pangan

Betapa sedih kalau, misalnya, kita pikirkan bahwa kedaulatan pangan nasional, dalam pengertian awam, hanya menjadi sebatas swasembada beras. Sebatas pencapaian produksi petani yang melebihi kebutuhan pangan nasional, sebatas petani mengharapkan kucuran bantuan pemerintah, sebatas lahan sawah sempit milik petani yang luasnya rata-rata 0,3 hektar. Semua membuat pikiran kita serba buntu.

Padahal, kalau kedaulatan pangan itu menjadi ideologi profesi pertanian, tentu paling tidak akan menghasilkan kedaulatan pada petaninya. Bahkan, yang lebih luas lagi kedaulatan kita sebagai bangsa yang lebih bermartabat, adil, dan sejahtera.

Sama seperti ibadah puasa yang baru saja kita jalani, upaya mengideologikan pertanian seperti perilaku mengosongkan isi perut untuk meraih martabat batiniah yang lebih luhur.

Meski berpuasa hanya berlangsung sebulan dan hanya pada siang hari, siapa tahu tulisan ini bisa menjadi sentilan untuk berpikir lebih dalam sehingga kita bisa mencapai kedaulatan pangan bagi seluruh bangsa dan membawa kualitas hidup yang lebih bermutu, lahir dan batin.

Semoga bangsa ini selalu dicermini pemikiran-pemikiran yang lebih cerah untuk masa depannya. Tidak hanya oleh suasana serba suram seperti yang kita ikuti di media massa belakangan ini akibat perilaku satu-dua orang yang kurang baik.

Kita hidup di negara yang cukup besar jumlah manusianya, cukup besar wilayah darat, apalagi lautannya, cukup besar sumber daya fauna, apalagi floranya, cukup besar kandungan harta di bawah tanah di darat dan di lautnya, serta berkecukupan panas dan air sepanjang tahun, yang semua itu merupakan limpahan kasih sayang Illahi Robbi kepada kita semua.

Guru Besar Emeritus Budidaya Pertanian IPB

Komentar Pembaca

  1. Kau tidak salah , benar-benar

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim