Bergelimang Dosa dan Dusta

Ahmad Syafi'i Maarif

Bergelimang dalam bahasa Indonesia berarti penuh berlumur atau sarat dengan. Maka, bergelimang dosa dan dusta berarti penuh berlumur atau sarat dengan dosa dan dusta. Apakah kultur kita sudah sedemikian busuk dan buruknya sehingga harus muncul sebagai judul artikel ini?

Ada sumber yang mengatakan bahwa setoran pajak yang masuk ke pundi-pundi negara hanya sekitar 20 persen dari penarik pajak. Lalu bagaimana yang 80 persen? Tentu telah menguap entah ke mana karena si penarik telah bergelimang dalam dusta. Tahun 1980-an, Soemitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa kebocoran APBN mencapai 30 persen.

Ramai-ramai merampok

Siapa yang membocorkan, tentu para pendosa dan pendusta. Keadaan buruk dan hitam ini kabarnya belum berubah sampai sekarang. Mungkin malah semakin tak terkontrol oleh negara yang tak punya kepemimpinan yang tegas dan kuat.

Jika memang kenyataannya demikian, APBN 2011/2012 dengan nominal lebih sedikit dari Rp 1.400 triliun, yang akan menguap sekitar Rp 420 triliun. Sebuah angka raksasa yang sungguh mengerikan. Skandal Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun, yang menurut Jusuf Kalla tidak lain dari rampokan atas keuangan negara, tentu bagian dari gelimang dosa dan dusta ini. Maka, tidaklah aneh jika segelintir pejabat, sipil, polisi, tentara, dan pengusaha hitam punya kekayaan melimpah ruah karena memang didapat melalui transaksi korup dan dusta.

Oleh sebab itu, nilai-nilai luhur Pancasila sudah lama tak bergigi dalam menghadapi berbagai bentuk keculasan transaksional ini. Bagaimana dengan badan usaha milik negara (BUMN)? Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN ini telah puluhan tahun dijadikan sapi perahan oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Tubuh bangsa ini telah ditikam oleh anak-anaknya yang pendusta.

Lalu bagaimana pula dengan bea dan cukai? Dari sekian jumlah pelabuhan laut dan bandar udara, tidak satu pun bebas dari perbuatan hitam. Muhammad Nazaruddin dalam pengakuannya di depan Komite Etik KPK pada 22 Juli 2011 membeberkan berbagai perbuatan busuk ini. Dikatakan juga pengusaha tidak mungkin berhasil tanpa menyogok aparat terkait.

Namun yang jauh lebih dahsyat menurut Nazaruddin, pengusaha domestik hanya bisa bermain di APBN, sedangkan pengusaha asing bermain di semua lini. Saya tak tahu sampai di mana kebenaran testimoni ini, tetapi bahwa kekayaan bangsa dan negara telah dirayah oleh berbagai kekuatan dusta sudah jadi perasaan publik sejak lama. Negara ini seperti tak dapat berbuat apa-apa untuk menyehatkan tubuhnya yang penuh borok dan tukak.

Di mana agama dan di mana Pancasila? Kedua sumber moral ini telah disingkirkan, semoga saja untuk sementara. Pada saatnya kedua sumber moral itu akan kembali menyelamatkan bangsa dan negara yang sama kita cintai ini dengan kekuatan dan daya lebih dahsyat.

Peta buram tentang dapur republik ini yang saya dapat selama bertugas dalam Komite Etik di atas tentu hanyalah secuil kecil dibandingkan dengan mereka yang terlibat langsung dalam segala perbuatan korup yang dapat saja mengalahkan negara jika negara itu berada di tangan mereka yang tak bernyali. Dalam kondisi negara yang serba labil ini, pengacara yang bermental ikan lele semakin bergentayangan mencari makan di air keruh.

Bukankah ikan lele, menurut penuturan seorang mantan jenderal kepada saya, akan makan begitu lahap jika airnya keruh? Semakin air keruh, semakin berjibunlah manusia bermental lele berebut makanan. Perkara halal-haram dan pantas-tak pantas disisihkan dari gelanggang perebutan rezeki tunamoral itu.

Segala jenis manusia turut bermain di situ: politikus, pengusaha, jaksa, polisi, hakim, pengacara, birokrat, dan sederetan daftar panjang lain. Mereka adalah pemain ”profesional” dalam menggerogoti pundi-pundi negara yang sejak lama jadi intaian kekuatan syahwat mereka yang tak terkendali. Dari sumber internal KPK, sejak 2004 lembaga ini baru berhasil menyelamatkan kekayaan negara sekitar Rp 7 triliun, sementara ratusan triliun rupiah lain masih perlu diburu. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan, KPK relatif mungkin satu-satunya lembaga penegak hukum yang telah melakukan reformasi internal sejak awal. Ironisnya, lembaga ini pula yang ingin dihancurkan oleh berbagai kekuatan politik dan ekonomi di tengah bangsa yang menderita ini.

Basa-basi politik

Dalam bacaan saya, negara secara keseluruhan tidak sungguh-sungguh ingin memusnahkan korupsi, kecuali dalam retorika dan basa-basi politik. Kalimat ”Saya akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi” adalah sebuah dusta yang disengaja. Ketidaksungguhan inilah sebenarnya yang jadi sebab mengapa upaya pemberantasan korupsi seperti bergerak di tempat. Adapun pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan itu hampir tak ada sangkut pautnya dengan peran pemerintah karena gelombang kebangkitan ekonomi global memang sedang bergerak ke Asia. Amerika dan Eropa sedang berada dalam krisis berbahaya, kata para ahli.

Haruskah kita menyerah? Sama sekali tidak. Sikap menyerah sama saja dengan menggali kuburan masa depan bangsa ini. Dan, itu adalah sebuah pengkhianatan tak sengaja dari mereka yang lemah mental. Dari 240 juta rakyat Indonesia, pasti mereka yang bermental baja untuk mengubah situasi hitam ini jadi beradab tak kurang jumlahnya. Saya percaya dalam bulan-bulan mendatang kekuatan itu akan mulai bermunculan. Semoga.

Ahmad Syafi’i Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim