Dampak Krisis Negara Maju

Anwar Nasution

Anwar Nasution

Penurunan peringkat utang Amerika Serikat oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor pada tanggal 5 Agustus lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian dunia, termasuk negara-negara berkembang dan Indonesia.

Pemulihan tingkat pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan terganggu, sedangkan tingkat suku bunga internasional akan meningkat. Pada gilirannya, penurunan tingkat laju pertumbuhan global akan menurunkan ekspor hasil industri manufaktur, energi, berbagai jenis bahan baku serta makanan dari negara-negara berkembang.

Pada saat yang sama, permintaan akan tenaga kerja yang kurang berpendidikan dan berketerampilan yang berasal dari negara yang mengalami surplus tenaga kerja akan berkurang pula. Polarisasi politik yang terjadi di Amerika Serikat (AS) untuk menghasilkan kesepakatan fiskal serta penurunan peringkat utang negara itu telah menyebabkan terjadinya erosi kepercayaan dunia pada mata uang dollar AS serta utang pemerintahnya yang dewasa ini berfungsi sebagai mata uang global dan acuan bagi obligasi negara lain.

Ekspansi fiskal

Peringkat utang AS diturunkan oleh Standard and Poor (S&P) dari AAA menjadi AA plus karena beberapa hari sebelumnya Presiden Barack Obama telah membuat perjanjian dengan lembaga- lembaga perwakilan rakyat negara itu (Kongres dan Senat) untuk membatasi jumlah utang negara itu dan merencanakan penurunan anggaran sebesar 2,4 triliun dollar AS dalam masa 10 tahun mendatang. Pembatasan defisit anggaran negara seperti itu menutup kemungkinan untuk mendorong laju perekonomian melalui stimulus fiskal jangka pendek.

Padahal, ekspansi fiskal jangka pendek sangat diperlukan dewasa ini untuk mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi yang masih sangat lemah setelah dilanda krisis tahun 2007-2009. Setelah tingkat laju pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam jangka menengah dan panjang, barulah dikenai disiplin fiskal yang ketat untuk menjaga kesinambungan utang pemerintah dengan menurunkan rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB).

Perjanjian mengenai anggaran belanja negara di AS terjadi pada saat yang kurang menguntungkan karena pertumbuhan ekonomi di beberapa negara industri lainnya juga sangat rendah atau stagnan. Karena mengalami krisis fiskal dan krisis keuangan, beberapa negara anggota euro (euro zone) juga tidak mampu mengintrodusir stimulus fiskal sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Inggris sudah terlebih dahulu mengetatkan APBN-nya, sedangkan pertumbuhan ekonomi di Jepang masih tetap rendah karena, di masa lalu, terlalu cepat menghentikan stimulus fiskal. Keadaan menjadi semakin sulit setelah tsunami melanda daerah Fukushima.

Krisis di kawasan euro zone mulai terjadi tahun 2010 di negara yang relatif kecil di Irlandia, Portugal, dan Yunani yang kemudian melanda ke negara yang lebih besar, seperti Spanyol dan Italia. Setelah Uni Eropa terbentuk dan mata uang euro berlaku, tingkat suku bunga di semua negara anggota menurun menyamai tingkat suku bunga di Jerman. Karena murahnya biaya meminjam, negara-negara Eropa yang relatif kecil membelanjai defisit anggarannya dengan menjual obligasi.

Selain pemerintah, dunia usaha juga memanfaatkan pinjaman luar negeri yang berbunga murah itu, apakah melalui kredit perbankan maupun penjualan obligasi. Beberapa negara, seperti Yunani, melanggar aturan tentang batas defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB tahunan dan rasio utang sebesar 60 persen dari PDB yang telah diatur dalam perjanjian Maastricht. Di sejumlah negara, seperti Irlandia, pinjaman luar negeri itu terutama digunakan untuk membangun berbagai proyek jangka panjang, termasuk perumahan dan perkantoran.

Pembeli obligasi dan pemberi kredit terbesar adalah lembaga-lembaga keuangan bank dan nonbank di negara-negara yang memiliki tabungan nasional yang tinggi di Eropa Tengah dan Utara, seperti Perancis, Jerman, dan Belanda. Karena semua negara menggunakan mata uang euro yang sama, tidak ada lagi risiko kurs devisa dalam pinjam-meminjam antara sesama negara anggota euro zone.

Krisis pun kini sudah mulai melanda negara-negara pembeli obligasi dan pemberi pinjaman ke negara-negara yang sudah lebih dahulu dilanda krisis. Karena aset industri perbankan Perancis terlalu banyak dalam bentuk obligasi dan piutang kepada negara-negara yang mengalami krisis, kini, peringkat utang negara itu pun terancam untuk diturunkan.

Keperluan dana penanganan krisis di ketiga negara yang relatif kecil cukup dipenuhi oleh European Financial Stability Facility (EFSF). Untuk mencegah agar negara-negara yang lebih besar tidak kehilangan akses pada pasar keuangan, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sudah mulai membeli obligasi Pemerintah Spanyol dan Italia di pasar sekunder.

Berbeda dengan EFSF yang sumber dana terbatas dan bersumber dari kontribusi negara-negara anggota euro, sebagai bank sentral, ECB punya dana tak terbatas karena dapat mencetak uang.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara industri akan mengurangi permintaan mereka akan barang-barang yang diekspor oleh sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Penurunan ekspor itu dapat berupa ekspor langsung ke negara-negara itu ataupun secara tidak langsung melalui China dan India yang menghasilkan dan mengekspor produk-produk hasil industri manufaktur.

Tingginya tingkat laju pertumbuhan ekonomi China dan India selama tiga dasawarsa terakhir telah meningkatkan jumlah permintaan maupun harga energi, bahan mentah maupun makanan yang kita ekspor. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kedua negara itu disertai dengan proses industrialisasi, mekanisasi, dan urbanisasi. Hasil industri manufaktur kedua negara itu terutama dipasarkan ke AS dan euro zone. Pada gilirannya, penurunan ekspor kedua negara ke AS dan Eropa yang sudah mulai terjadi dewasa ini akan mengurangi penerimaan devisa maupun penerimaan pajak bagi negara-negara pengekspor energi, bahan mentah dan makanan.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi global sekaligus mengurangi penciptaan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang kurang terdidik atau kurang keterampilan dari negara-negara berkembang yang merantau ke mancanegara. Ini mengganggu kiriman mereka (remittances) untuk membantu keluarga yang tinggal di kampung halamannya.

Upaya untuk mendorong tingkat laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju melalui ekspansi moneter atau quantitative easing (QE) adalah sangat terbatas. Alasannya karena sejak krisis 2008, tingkat suku bunga sudah sangat rendah mendekati nol. Dalam keadaan seperti itu, kebijakan moneter saja tak akan ampuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti stimulus fiskal, perubahan struktural, dan promosi ekspor.

Arus balik modal jangka pendek

Dalam QE, bank sentral membeli obligasi negara berjangka panjang di pasar sekunder. Dalam keadaan normal, bank sentral hanya membeli surat uang negara berjangka pendek, maksimum selama satu tahun. QE ini juga dibatasi oleh kemungkinan peningkatan inflasi karena tingkat laju inflasi di sejumlah negara sudah di atas target yang ditetapkan bank sentral. Upaya mendorong ekspor melalui devaluasi atau depresiasi mata uang nasional akan mendorong terjadinya perang kurs.

Jika terjadi peningkatan tingkat suku bunga akan meningkatkan bunga pinjaman luar negeri. Peningkatan tingkat suku bunga di pasar di negara-negara maju tersebut sekaligus mendorong arus balik modal jangka pendek yang selama ini masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk membeli saham dan obligasi negara.

Penurunan peringkat utang Pemerintah AS dan sengit serta tajamnya perbedaan antara Partai Demokrat dan Partai Republik sebelum mencapai kesepakatan fiskal di negara itu telah menimbulkan ketidakpastian global. Ketidakpastian itu mulai menimbulkan erosi kepercayaan akan mata uang dollar AS ataupun nilai obligasi pemerintahnya.

Selama ini mata uang dollar merupakan mata uang global yang berlaku sebagai satuan pengukur nilai, alat pembayaran, instrumen penyelesaian utang piutang maupun tempat penyimpanan kekayaan. Dunia menempatkan cadangan luar negerinya dalam obligasi negara AS karena, dengan peringkat yang terus-menerus tertinggi, dianggap tak mengandung risiko.

Sistem sosial politiknya yang selama ini stabil dan pengaturan ekonominya yang baik membuat obligasi negaranya dianggap tidak akan pernah gagal bayar ataupun menjadi kertas tidak berharga karena digerogoti tingkat laju inflasi yang tinggi. Pasar uang dan modal AS merupakan yang paling luas dan dalam serta likuid di dunia ini. Kestabilan, kepastian, dan likuiditas sistem keuangan AS yang tinggi seperti ini menjadi faktor penyebab kenapa sistem keuangannya menjadi inti serta jangkar sistem keuangan internasional.

Anwar Nasution Guru Besar Fakultas Ekonomi UI/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim