Ironi Negeri Merdeka

Merah Putih

Indonesia sudah 66 tahun merdeka. Sudahkah para pemimpin di negeri ini bersikap amanah, bekerja ikhlas untuk benar-benar mewujudkan makna kemerdekaan tersebut bagi segenap rakyat?

Kemerdekaan dan pemimpin itu ibarat dua sejoli. Satu dalam kesatuan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan apinya dan pemimpin lilinnya. Api dari lilin tersebut yang kemudian membelah gelap dan menuntun anak-anak bangsa menuju dunia ”habis gelap terbitlah terang”.

Soekarno menyebutkan, kemerdekaan itu ibarat jembatan emas. Jadi, esensi dari kemerdekaan adalah adanya perubahan radikal yang signifikan dari periode terjajah ke periode baru yang nyata. Soekarno menyebutnya sebagai periode masyarakat adil dan makmur.

Ketika kemerdekaan sudah diraih, kapan pun dan di mana pun berada, rakyat seharusnya tak lagi terjebak dalam sudut-sudut yang gelap, seperti dalam periode terjajah. Pemimpin harus membawa api kemerdekaan untuk segera melepaskan rakyatnya dari sudut-sudut kegelapan.

Ada tiga sudut kegelapan yang mencengkeram rakyat sepanjang periode terjajah: kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi. Ketiga sudut tersebut terus-menerus dibiakkan rezim kolonialis untuk menjalankan politik memecah belah rakyat.

Adalah tugas para pemimpin yang mengemban makna kemerdekaan itu untuk melenyapkan sudut-sudut tergelap bangsanya. Adalah tugas para pemimpin bangsa untuk mencari sudut-sudut tergelap yang mungkin masih melilit rakyatnya. Tak ada alasan para pemimpin tidak dapat mendeteksi sudut-sudut gelap tersebut. Sebab, kemerdekaan suatu bangsa adalah sensor yang membawa cahaya bagi kesejahteraan bangsa itu sendiri.

Jika periode kemerdekaan masih menciptakan sudut-sudut kolonialisme berupa kemiskinan, kebodohan, dan diskriminasi, nilai-nilai kemerdekaan bangsa tersebut patut dipertanyakan. Kesungguhan para pemimpin bangsa yang merdeka itu—dalam mengelola bangsanya—patut digugat.

Jika dalam periode kemerdekaan sebuah bangsa masih menciptakan sudut-sudut kolonialisme baru bagi rakyatnya, itu berarti jalan kemerdekaan bangsa tersebut salah arah. Ini tentu saja sebuah ironi dalam negeri merdeka.

Diskriminasi

Ironi itu pula yang masih melilit Indonesia. Walau sudah 66 tahun merdeka, bangsa Indonesia ternyata belum bisa melepaskan diri dari belenggu sudut-sudut kegelapan tadi. Kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi masih menggerogoti anak-anak bangsa, dan masih mengisi sudut-sudut kehidupan sosial rakyat.

Belakangan kondisinya menunjukkan gejala makin parah. Sektor pendidikan yang harusnya jadi penumpas kebodohan telah dimanipulasi sehingga terwujudlah pendidikan biaya tinggi. Anak-anak bangsa terbebani pendidikan yang komersial. Sekolah menjadi lahan bisnis.

Esensi pendidikan sebagai candradimuka untuk melahirkan kader-kader bangsa jadi kehilangan makna. Rakyat yang tak berduit sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak, apalagi pendidikan tinggi yang makin komersial.

Rakyat yang miskin kian terjebak dalam kebodohan tanpa pendidikan yang layak. Di sisi lain, industrialisasi terbiarkan menjadi monster yang melahap wilayah pertanian, melalap hutan, dan membuat kota dan desa tidak bersekat. Industrialisasi tanpa kendali membuat rakyat hanyut dalam mimpi-mimpi kapitalisme. Padahal sesungguhnya mereka kian miskin karena masuk dalam rezim upah murah dan rezim tenaga lepas.

Industrialisasi tanpa kendali telah membuat jurang antara kaya dan miskin kian lebar. Ketika jurang ini kian menganga, diskriminasi pun tumbuh subur. Nenek Minah yang mencuri tiga buah cokelat dengan cepat dilempar ke pengadilan. Sementara pengusaha yang mencuri BLBI puluhan triliun rupiah dibiarkan bebas jadi konglomerat sejati. Maling ayam dipukuli sampai mati, sementara Nunun Nurbaeti dibiarkan lari tanpa dicari.

Diskriminasi telah pula memicu iri dan konflik di berbagai sudut negeri. Rakyat di berbagai daerah makin merasa kemerdekaan seperti tak punya arti. Kasus-kasus yang mengiris hati dan menguliti rasa keadilan masih dengan pekat mewarnai 66 tahun kemerdekaan negeri ini.

Impian kemerdekaan sebagai jembatan emas makin jauh panggang dari api. Apalagi jika melihat korupsi makin menjadi-jadi, dalam hati rakyat hanya bisa bertanya: mau dibawa ke mana negeri ini?

Mungkin tak salah jika saya mengatakan, perjalanan kemerdekaan ini salah arah. Mungkin karena para pemimpinnya masih kurang amanah. Persoalannya kemudian apakah kita mau menyadari bahwa kesalahan tersebut sudah membuat bangsa ini ”sakit”.

Pemimpin amanah

Bangsa ini sudah merdeka 66 tahun, tetapi pencapaian yang diraihnya belum berbanding lurus. Tampaknya kita tak bisa lagi berdalih atau membuat alibi bahwa tak mudah mengurus negeri yang besar ini. Kita pun tak bisa kembali meminta rakyat bersabar. Sebab, setiap saat rakyat melihat betapa banyak aset bangsa yang dicuri, baik oleh bangsa lain maupun pejabat negeri sendiri.

Sepertinya kita harus menyadari kembali bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia Indonesia. Fitrah untuk melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi, untuk kemudian menciptakan masyarakat adil dan makmur. Bagaimanapun, cita-cita kemerdekaan ini harus ditempuh dan diraih.

Usia 66 tahun bukan waktu yang singkat. Terlalu naif jika rakyat di negeri ini masih banyak yang terpojok di sudut-sudut kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi. Kondisi itu tentu akan membuat manusia Indonesia memiliki kemerdekaan yang tidak melekat di dalam dirinya. Kemerdekaan ada, tetapi selalu tak bersamanya. Selalu ada jarak antara ia dan makna kemerdekaan itu sendiri.

Merefleksikan 66 tahun kemerdekaan, negeri ini memang butuh pemimpin yang amanah. Pemimpin yang bisa bersikap tegas menegakkan supremasi hukum sehingga bangsa ini tidak terus-menerus dipecundangi dan digerogoti bangsa lain ataupun bangsa sendiri yang bermental pencuri. Bangsa ini butuh pemimpin yang ikhlas berkorban agar kemerdekaan tidak menjadi ironi.

Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim