Beban Berat Otonomi Daerah

ilustrasi:kabarbisnis.com

sebut saja demikian, merasa jengah dengan birokrasi yang begitu berbelit saat harus mengurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP) di Kota Surabaya. Meski sebenarnya ada aturan dari Peraturan Menteri Perdagangan bahwa TDP harus tuntas dalam tiga hari, toh Anton harus menunggu sekira dua pekan.

“Tanpa TDP, saya tak bisa berbuat apa-apa. Itu syarat utama untuk melakukan banyak pekerjaan. Sebagai pengusaha pemula, saya sangat dirugikan,” beber Anton kepada kabarbisnis.com.

Anton tak sendirian. Masih banyak pengusaha-pengusaha “sial” yang bernasib seperti Anton. “Tanpa uang pelicin, susah, Mas. Lemot prosesnya,” kata Anton seraya tersenyum getir.

“Wani piro,” sindir Anton sambil tangannya memeragakan gaya minta suap yang populer di iklan produk rokok di televisi.

Research and Development Manager Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Sigit Murwito, mengakui, otonomi daerah masih mempunyai banyak cacat. Birokrasi daerah bukannya tambah gesit, melainkan tambah berbelit. Dia mencatat, hanya 49% pengusaha yang memiliki TDP.

“Padahal, TDP adalah syarat dasar untuk semua aktivitas bisnis. Tanpa TDP, tak bisa pengusaha kecil bermitra dengan pengusaha lain yang lebih besar. Ruwetnya pengurusan izin ini membuat para pelaku usaha menghindari formalisasi usahanya,” ujar Sigit.

Temuan itu adalah hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilakukan di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi dan melibatkan 12.391 pelaku usaha, baik skala UMKM maupun besar

Sigit mengatakan, berdasarkan hasil studi KPPOD, proses mengurus TDP di banyak kota masih belepotan. Sigit menerangkan rata-rata kota di banyak provinsi tak menaati Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 37 tahun 2007 di mana mengatur ketentuan standardisasi proses TDP maksimal tiga hari kerja.

“Prakteknya ada yang sampai 18 hari,” ujarnya.

Misalnya, di Ketapang, Kalimatan Barat, pengurusan TDP bisa 49 hari. Sedangkan di Kota Malang, Jatim, untuk mengurus TDP perlu 36 hari. Yang tersingkat adalah Kabupaten Bengkulu Tengah yang hanya 1,7 hari.

Ketua Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah (Forda UKM) Jawa Timur, Nur Cahyudi, menyesalkan masih tidak berubahnya pelayanan di birokrasi. “Sulitnya mendapat izin ini membuat ekspansi UKM tertahan. Bagaimana bisa dapat kredit dari bank kalau TDP sulit diperoleh? Bagaimana bisa ikut pengadaan pemerintah? Bagaimana bisa berperan sebagai vendor bagi perusahaan besar?” kata Nur.

Daya dukung APBD lemah

Soal perizinan hanya satu contoh betapa otonomi daerah membawa beban berat bagi perekonomian republik ini. Contoh lainnya adalah soal minimnya daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD lebih banyak tersedot untuk gaji PNS daripada untuk program pembangunan yang membawa nilai tambah bagi perekonomian.

APBD seluruh daerah se-Indonesia pada 2010 tersedot untuk alokasi belanja pegawai sebesar Rp198 triliun, naik dibanding 2009 sebesar Rp123 triliun. Adapun alokasi belanja modal dalam APBD 2010 sebesar Rp 96 triliun atau lebih kecil dari tahun sebelumnya sebesar Rp 104 triliun.

Alokasi belanja pegawai dalam APBD pada 2010 meningkat menjadi 45% dari sebelumnya 38%. Adapun alokasi belanja modal dalam APBD hanya 22%. Belanja modal adalah pos-pos yang berhubungan dengan pembangunan, seperti proyek jalan.

Problem tak berhenti di situ. Bermunculannya daerah pemekaran telah membuat penyakit otonomi daerah bertambah parah. Tata kelola ekonomi di daerah-daerah hasil pemekaran relatif rendah dibandingkan dengan daerah induknya dan daerah nonpemekaran. Hal ini mencerminkan bahwa kebijakan pemekaran daerah yang menghasilkan banyak daerah otonom baru tersebut tidak mampu menggerakkan ekonomi lokal.

Sigit Murwito mengatakan, hasil studi yang dilakukan KPPOD di 245 kota/kabupaten di 19 provinsi di seluruh Indonesia menunjukkan, daerah hasil pemekaran indeks tata kelola ekonomi daerahnya (TKED) hanya 60. Sedangkan daerah yang tidak dimekarkan punya indeks TKED 66 dan daerah induk pemekaran sebesar 63.

Ada sembilan indikator untuk mengukur TKED, yaitu akses terhadap lahan, infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, serta keamanan dan penyelesaian konflik. Hasil studi TKED ini menempatkan Kota Blitar di peringkat teratas se-Indonesia dengan indeks 80,5.

“Kualitas tata kelola ekonomi daerah yang rendah ini dapat memperlebar kesenjangan antardaerah dan akan menghambat gerak ekonomi di daerah bersangkutan,” ujar Sigit.

Dia mencontohkan masalah infrastruktur sebagai indikator yang paling berpengaruh dalam TKED. Jika infrastruktur daerah buruk, otomatis gerak ekonomi menjadi tidak stagnan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Suahasil Nazara, mengatakan, kebijakan pemekaran ekonomi daerah terbukti kontraproduktif dan tidak mampu mendorong gerak ekonomi daerah. Dia mencontohkan ada satu kabupaten pemekaran di daerah Halmahera yang justru lebih banyak menghabiskan dananya untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.

“Karena daerah pemekaran itu belum ada fasilitas, para PNS-nya tidak mau tinggal di daerah baru tersebut. Mereka tinggal di kota induk, dan kini kabupaten tersebut mengalokasikan anggaran transportasi untuk para karyawannya. Ini kan lucu, logikanya karut-marut,” kata Suahasil. kabarbisnis.com

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim