Pemkot Surabaya Disomasi Soal Mangrove

ilustrasi:kompas.com

Aktivis lingkungan hidup menyomasi Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, karena dianggap lalai dalam kasus pembalakan mangrove di Kecamatan Mulyosari. Mereka meminta Pemkot Surabaya membuat peraturan daerah soal hutan mangrove dan wali kota menerbitkan surat keputusan tentang moratorium pembukaan lahan tambak baru di pantai timur Surabaya.

Menurut Prigi Arisandi dari Tim Konsorsium Rumah Mangrove, somasi dilayangkan karena selama ini Pemkot Surabaya lalai mengamankan kawasan hutan mangrove di pantai timur Surabaya. Padahal, wilayah itu sejak tahun 2007 sudah menjadi kawasan konservasi mangrove.

Pemkot Surabaya juga tidak memiliki aturan pengelolaan kawasan konservasi secara khusus. Padahal, aksi pembalakan 100.000 pohon bakau di area seluas 10 hektar itu sangat merugikan warga Surabaya.

Direktur Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) itu menambahkan, kelalaian Pemkot Surabaya menjaga kawasan konservasi mangrove mengakibatkan hilangnya aset negara berupa tanah oloran atau tanah hasil endapan (sedimentasi) yang memiliki petok D, bahkan sertifikat.

Selain itu, menurut Teguh Adi Srianto dari Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan, selama ini Pemkot melakukan pembiaran perusakan mangrove seluas 10 hektar. Aksi pembalakan berlangsung selama lima bulan tanpa ada sanksi dari Pemkot bagi pelaku.

Kelalaian Pemkot, menurut Teguh, otomatis mengganggu fungsi filtrasi polutan dan hilangnya pelindung ombak di pesisir pantai Surabaya. “Akibat pembalakan liar, banyak habitat keanekaragaman hayati di kawasan Konservasi Mangrove Mulyorejo yang hilang dan rusak,” kata Teguh.

Melihat kondisi di lapangan, Konsorsium Rumah Mangrove mendesak Pemkot Surabaya untuk membentuk dan menyusun segera peraturan daerah pengaturan tentang tata kelola tanah oloran di Surabaya. Ini dilakukan guna melindungi kawasan pesisir pantai di Surabaya, yang rentan dengan perusakan lingkungan.

Berdasarkan data Konsorsium Rumah Mangrove, sejak tahun 2001 sudah terjadi empat kali penebangan secara besar-besaran. Para pelaku pembalakan seharusnya dijerat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengolahan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

Tanpa menggunakan kedua undang-undang dalam menjerat pelaku pembalakan, warga akan beralasan melakukan pembalakan untuk membuka tambak. Padahal, ada kemungkinan tambak lama terbengkalai sehingga ada kesempatan untuk menjual kepada pengembang.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki Pemkot, sekitar 400 hektar tanah yang masuk dalam lahan konservasi hutan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) sudah memiliki sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Tanah tersebut, kata Risma, bukan hanya dimiliki secara perseorangan, tetapi juga pengembang.

“Pemkot akan meningkatkan pengawasan di kawasan konservasi tersebut, termasuk segera mendata kepemilikan tanah,” katanya. kompas.com

Komentar Pembaca

  1. kapan terjadinya kasus ini?

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim