Ledakan Penduduk

Haryono Suyono

Haryono Suyono

Minggu ini puluhan kabupaten/kota menggelar rapat kerja kependudukan dan KB. Tujuannya mengevaluasi pelaksanaan program tahun sebelumnya, merancang pelaksanaan program 2011, serta merancang program dan kegiatan tahun 2012.

Biarpun menurut undang-undang BKKBN sudah berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, lembaga yang mengurusi masalah kependudukan dan KB di daerah masih bervariasi. Ada yang berbentuk dinas, badan, atau kantor KB, atau digabung dengan berbagai urusan yang dianggap tidak menghasilkan pendapatan daerah secara langsung.

Maka, meskipun masalah kependudukan makin kompleks dan bervariasi, penanganan masalah kependudukan tidak berjalan mulus. Tanpa perhatian serius, persoalan akan bertambah ruwet dan dampaknya sangat fatal karena bisa merembet ke arah tekanan politik, sosial ekonomi, bahkan kriminal akibat tekanan kepadatan yang tidak lagi bisa ditolerir.

Dua puluh tahun terakhir masalah kependudukan berubah drastis. Tahun 1960, 1970, dan 1980-an kita menghadapi tambahan jumlah bayi yang luar biasa (baby boom), tekanan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, tingkat pendidikan yang rendah, dan tingkat kemiskinan penduduk yang tinggi. Untuk mengatasinya, saat itu pemerintah menggelar program KB, transmigrasi, penyediaan fasilitas pendidikan dasar yang sangat luas, dan program pengentasan orang miskin.

Transisi demografi

Peningkatan jumlah bayi yang sangat menonjol menyebabkan transisi demografi yang dahsyat sehingga struktur dan pertumbuhan penduduk berubah. Tahun 1970-an jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun hampir sama dengan jumlah penduduk usia 15-60 tahun, sedangkan penduduk usia lanjut di atas 60 tahun masih kurang dari 5 juta jiwa. Tahun 2011 jumlah penduduk sudah mencapai lebih dari 240 juta dan strukturnya menjadi sangat dewasa. Penduduk di bawah usia 15 tahun tidak banyak berubah karena keluarga Indonesia umumnya ikut program KB.

Akan tetapi, bayi-bayi yang lahir sepanjang 1960-1980-an menjadi dewasa dengan tingkat kematian rendah. Maka, jumlah penduduk usia 15-60 tahun ”meledak” menjadi di atas 150 juta. Ledakan generasi muda ini diikuti pula oleh ledakan penduduk lanjut usia yang semula di bawah 5 juta menjadi 20 juta jiwa.

Karena penanganan program KB agak ”semrawut” dengan komitmen, kelembagaan dan strategi yang kurang pas, sepuluh tahun terakhir ini terjadi kenaikan tingkat kelahiran dari 2,3 anak tahun 2000-an menjadi sekitar 2,6 anak tahun 2007-2009, dan tahun 2010 bisa lebih tinggi. Ketiga peristiwa itu menyebabkan pertumbuhan penduduk bukan seperti angka rata-rata 1,49 persen selama sepuluh tahun, tetapi bisa 1,5, 1,6, bahkan 1,7 persen tiap tahun.

Pertumbuhan itu karena adanya ledakan baby boomers yang menjadi dewasa, kenaikan penduduk lanjut usia yang dahsyat, dan kenaikan kembali tingkat kelahiran di Indonesia. Semua ini menjadikan masalah kependudukan di Indonesia bukan lagi hanya maraknya kelahiran bayi, melainkan suatu ledakan penduduk (population explotion) yang sangat berbahaya.

Ledakan penduduk diperparah oleh perubahan ciri penduduk. Kalau tahun 1970-an hanya ada 20 persen penduduk di perkotaan, jumlah itu sekarang meledak menjadi lebih dari 50 persen. Secara fisik jumlahnya lebih dahsyat. Tahun 1970-an jumlah penduduk perkotaan hanya 20-25 juta.

Meningkat luar biasa

Tahun 2011 jumlah penduduk perkotaan menjadi 120 juta atau lebih, meningkat 550-600 persen. Mereka bukan anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi umumnya penduduk dewasa dan lansia dengan perbandingan penduduk anak-anak dengan penduduk dewasa dan lansia sebagai satu berbanding tiga.

Anak-anak yang dominan pada masa lalu—kalau dianggap masalah—bisa ditangani dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang memadai, sekolah dan kelengkapan pakaian seperlunya. Akan tetapi, 170 juta-180 juta penduduk dewasa dan lansia yang sebagian besar adalah penduduk urban pasti tidak puas dengan pelayanan sederhana. Jalan-jalan di perkotaan menjadi sangat padat dan macet, mereka perlu fasilitas rekreasi, makanan lengkap yang bukan hanya susu, dan penggantian kebutuhan sekolah dengan tuntutan lapangan kerja dengan upah cukup.

Kepadatan Pulau Jawa tidak lagi mudah ditolong dengan transmigrasi beriming-iming tanah 2 hektar tetapi perlu dilengkapi fasilitas dan penghasilan yang cukup untuk bisa pulang kampung sewaktu-waktu. Kemiskinan di masa lalu digantikan kemiskinan dengan tingkat sofistikasi yang mahakompleks.

Masyarakat miskin masa lalu bisa dianggap penurut karena umumnya tidak sekolah, tinggal di desa, dan menjadi buruh tani. Namun, dewasa ini penduduk miskin itu sebagian adalah remaja, orang dewasa dan lansia yang putus sekolah, hampir 50 persen penduduk urban, tidak bekerja dengan baik. Kalaupun bekerja, jenis pekerjaannya tidak memadai untuk menghidupi keluarga. Mereka tidak lagi penurut, tetapi bisa menjadi masyarakat yang sangat emosional.

Untuk memecahkan kondisi kependudukan seperti itulah berbagai rapat kerja kependudukan di daerah seharusnya diarahkan. Bukan sekadar mengatasi masalah ledakan kelahiran, melainkan merupakan langkah sungguh-sungguh untuk mengatasi ledakan penduduk yang aspeknya multidimensi dan serba kompleks. Semoga mendapatkan perhatian yang proporsional.

Haryono Suyono, Mantan Menko Kesra RI/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim