Ikan Haram Versus Minapolitan

Ilustrasi

Tidak ada yang salah dengan syair ‘ikan dan udang menghampiri dirimu’ dalam lagu Kolam Susu yang pernah melambung di era tahun 70 an. Sehingga juga tidak keliru jika kemudian lagu yang dilantunkan Koes Plus, vocal grup asal kota pesisir Tuban itu, mengundang negara tetangga untuk membuktikan sekaligus menikmati kekayaan perairan nusantara, secara legal maupun illegal.
Indonesia dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi kini dihadapkan pada satu kenyataan pahit. Krisis ikan terjadi akibat pengambilan tidak terkendali, pengaruh cuaca ekstrim dan pencemaran laut. Di Pelabuhan Perikanan Muncar, Banyuwangi Jawa Timur misalnya, salah satu sentra utama perikanan tangkap itu produksinya turun 60 persen lebih. Tahun 2007 nelayan Muncar masih bisa tersenyum dengan hasil tangkapan 60 ribu ton, tahun lalu perolehan hasil lautnya menyusut hanya 22 ribu ton. Sekitar 80 persen hasil produksi ikan di Muncar adalah lemuru (sardinella longiceps).
Dampaknya, di kawasan Minapolitan itu kini hanya ada tujuh perusahaan yang memproduksi ikan kaleng untuk pasaran nasional dan ekspor. Padahal lima tahun lalu tercatat 12 perusahaan. Mereka tidak bisa mendapatkan pasokan ikan lokal, sehingga terpaksa mendatangkan ikan impor yang harganya dua kali lebih mahal. Impor ikan Jatim tahun lalu 47 ribu ton, dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Tidak berlebihan jika ada asumsi yang mengatakan bahwa industri pengalengan ikan saat ini mengandalkan bahan baku impor. Sebab, produksi nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan bahan baku pabrik. Sebagai catatan, dari kapasitas industri pengolahan sebesar 3,85 juta ton per tahun, tetapi produksinya hanya 1,78 juta ton.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, dari 11 wilayah penangkapan, saat ini hanya perairan Arafuru dinyatakan under fishing. Bukan hanya di perairan nusantara krisis ikan terjadi. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), 80 persen industri penangkapan ikan kini berada dalam tekanan karena melakukan eksploitasi berlebihan.
Statuta sebagai salah satu lumbung ikan terbesar di dunia, tampaknya kian menjauh dari ranah bahari ini dan kita dihadapkan pada kenyataan sebagai pengimpor ikan dari China, Vietnam dan Thailand bahkan dari Pakistan. Sebagai ilustrasi, impor ikan beku dan segar tahun 2007-2009 meningkat hampir dua kali lipat. Tahun 2009, impor ikan beku dan segar 85.566 ton, tahun 2008 sebesar 83.558 ton, dan 2007 hanya 42.891 ton. Membanjirnya impor ikan harus disikapi dengan langkah cerdas, sebab terkait dengan program nasional Minapolitan yang tengah digalakan KKP untuk menjadi produsen ikan terbesar dunia.

Resiko Tinggi
Ambsisi menjadi produsen ikan terbesar, sama artinya dengan mengalahkan produsen terbesar China yang produksinya melampaui 46 juta ton per tahun. Bila tahun 2009 produksi perikanan budidaya di Indonesia 4,78 juta ton, dalam kurun lima tahun KKP mentargetkan lompatan produksi budidaya sebesar 353 persen atau 16,89 juta ton pada 2014.
Menyatukan produksi, pengolahan dan pemasaran dalam satu kawasan bernama Minapolitan tentunya bukan hal mudah. Faktor anomali iklim telah memicu biaya tinggi sektor perikanan tangkap dan budidaya. Nelayan yang semula dapat melaut setiap saat, kini harus berhitung cermat jika hendak menangkap ikan. Degradasi sumber daya ikan memaksa pula nelayan berlama-lama di laut. Tidak hanya bahan bakar tambahan diperlukan, tetapi juga bekal melaut seperti es balok, air bersih dan persediaan umpan lebih banyak .
Aktivitas para pewaris budaya bahari itu di laut juga dihadang maraknya pengambilan ikan oleh kapal tuna long line di atas 100 gross tons (GT) di rumpon milik nelayan tradisonal. Ikan cakalang, tuna kecil dan tuna besar serta ikan demersial lainnya semakin sulit ditangkap. Nelayan pantai selatan yang biasanya membawa pulang sekitar 4 ton ikan per trip, hanya memperoleh maksimal satu ton dari Samudra Indonesia.
Petani budidaya dan industri pertambakan harus mengeluarkan biaya ekstra agar dapat survive. Untuk mensiasati penyakit dan virus yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang, bandeng atau kerapu lumpur memerlukan treatment khusus pula agar ikan tetap sehat. Sementara itu budidaya air tawar dihadapkan pada persoalan makin terbatasnya sumber air dan melambungnya harga pakan. Demikian pula industri pengolahan mempunyai resiko lebih tinggi dampak kenaikan tarif listrik, mahalnya bahan baku impor dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.
Beberapa langkah perlu diambil. Pertama, dibutuhkan koordinasi lintas sektor dengan 28 kementerian yang terlibat program Minapolitan. Setidaknya diperlukan Keputusan Presiden yang menunjuk seorang mentri koordinator untuk menakhodai program itu. Kedua, jaminan pasokan bahan baku dengan harga murah adalah hal yang tidak bisa ditawar. Ketiga, nilai tambah bagi nelayan dan petani tambak sebagai produsen bahan baku hanya bisa dilakukan, jika pemerintah meregulasi sektor perikanan sarat subsidi dari hulu hingga hilir. Keempat, nelayan dan petani tambak serta industri pengolah perlu dirangsang pinjaman modal bunga rendah, pakan murah, serta benih ikan yang sehat dan berkualitas.
Pemerintah dituntut memperbanyak unit pembenihan ikan sampai ke pulau-pulau kecil yang selama ini potensinya terabaikan. Dengan cara tersebut masyarakat akan tertarik melakukan budidaya. KKP hendaknya lebih jeli lagi memilih komoditas unggulan dan mensosialisasikan harga pasar dan prospek pemasaran kepada produsen secara intens.
Kalau kita cermati selama ini banyak program peningkatan produksi perikanan diluncurkan, seperti sistim kluster, revitalisasi dan restrukturisasi. Awalnya program tersebut gempita ketika dicanangkan, akan tetapi pada implementasinya sepi produktivitas dan malah terpuruk karena faktor ego sektoral.

Oki lukito, direktur Regional Economic Maritime Institute

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim