Pemerintah (Makin) Mati Rasa

Zainal Arifin Mochtar

Slogan pemerintah akan memimpin langsung pemberantasan korupsi pernah dikumandangkan. Pernyataan penguatan pemberantasan korupsi dan mafia hukum selalu hadir dalam rapat dan sidang. Namun, masalahnya, pernyataan itu kurang tampak dalam tindakan nyata.

Dalam memberantas korupsi dan mafia hukum, selain membentuk Satgas Antimafia Hukum, tak lagi ada prestasi berarti yang ditorehkan Istana. Ada kesan, mereka melangkah berderap menuju arah yang keliru. Lihat saja hasil perintah-perintah presiden dalam percepatan pemberantasan korupsi, baik yang secara umum maupun khusus pada kasus tertentu. Penyakit lama tentang ketidakmampuan dan ketidakmauan tak hanya membayangi, malah melekat erat.

Lambang mati rasa

Dalam konsep instruksi, ketidakmampuan melaksanakan instruksi dapat mudah ditutup andai memang ada kemauan memastikan bawahan melaksanakannya. Sayangnya, ini pun tak terlihat. Kita disuguhi berbagai hambatan yang mengangkangi pelaksanaan instruksi, tetapi tak kunjung ada perintah keras melaksanakan sebagai implementasi dari kemauan yang kuat.

Sila membuka hasil kerja pelaksanaan Inpres 1/2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus- kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Nasib yang sama terjadi pada Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hasil tak berbanding lurus dengan upaya instruksi karena ada jarak antara hasil yang ingin dicapai dan kemampuan atau kemauan mencapainya.

Praktik bawahan yang memberi keringanan kepada koruptor melengkapi proses agregasi mati rasa ala Istana. Sulit dijelaskan secara baik alasan yang bisa membenarkan hujan remisi dan perlakuan istimewa terhadap para koruptor. Namun, ”anjing menggonggong”, perlakuan istimewa tetap berlalu. Tak ada iktikad merevisi cara pandang negara atas pelbagai kenikmatan yang diberi kepada koruptor.

Dalam konteks terbaru, proses mati rasa menjadi makin akut ketika dilihat dari RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dihasilkan pemerintah. RUU yang diharapkan merevisi UU 31/1999 itu memperlihatkan bahwa alih-alih menguatkan pemberantasan ko- rupsi, ia malah menjinakkan pemberantasan korupsi. Bisa dilihat dari beberapa indikasi.

Pertama, tampak jelas tensi pemerintah turun dalam melihat kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Terbukti di RUU, cara pandangnya adalah mem-”biasa”-kan korupsi. Dalam RUU terdapat begitu banyak pasal merabat ancaman pidana yang tentu kian menjauhkan kesan membangun efek jera bagi para koruptor. Bahkan, ancaman pidana sangat minimal (setahun) kian diperbanyak. Dalam konteks ”setahun” ini, sering kali ujungnya pada hukuman percobaan.

Di negeri inilah koruptor bisa mendapat putusan dalam bentuk hukuman percobaan. Pengadilan umum sangat ”rajin” memberi hukuman semacam ini. Lengkaplah rendahnya tingkat hukuman para koruptor. Dengan klausul RUU yang kian memasifkan hukuman jenis ini, koruptor dan mafia hukum akan berpesta senang. Mereka menemukan dalil yang makin kuat mendapat hukuman seringan-ringannya.

Kedua, semakin tampak cara pandang yang tidak melihat korupsi sebagai sebuah kejahatan yang rapi terencana. Cara melawannya kelihatannya tidak dibangun sebagai perlawanan yang terorganisasi secara baik. Tidak terlihat konstruksi sistematis dalam memerangi korupsi.

Salah satu penyebabnya: dibukanya semakin lebar pintu kriminalisasi bagi pelapor perkara korupsi. Padahal, jika ingin mendorong percepatan pemberantasan korupsi, sangatlah penting membuka lebar pintu pelaporan dengan berbagai keringanan dan perlindungan bagi pelapor.

RUU gagal memisahkan dan menjelaskan secara baik ihwal konsep laporan palsu, padahal bisa banyak varian. Namun, siapa pun yang melapor akan mudah diserang dengan tuduhan bahwa laporannya palsu. Menguatnya kriminalisasi pelapor mempersulit kita membongkar dan membuka perkara korupsi yang sering terancang secara sempurna dan sistematis.

Ketiga, dan inilah yang paling kita takutkan, RUU ini dirancang sebagai ”kotak pandora”. Begitu disahkan, RUU terkait yang menyusul akan jadi penanda pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penegakan hukum antikorupsi. Selain RUU ini, ada juga beberapa RUU terkait yang sedang diinisiasi. RUU KPK misalnya. Sangat besar peluang RUU KPK akan jadi pemicu reposisi besar KPK. Lihat saja kewenangan penuntutan KPK yang tak disebutkan lagi. Padahal, dulu KPK disebutkan secara tegas dalam UU yang akan digantikan oleh RUU.

Inilah bahayanya: dari sini jangan-jangan semakin mulus langkah mengubah wujud KPK dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Komisi Pencegahan Korupsi. Gejala mendorong KPK bekerja untuk semata-mata pencegahan sering dibicarakan partai politik, termasuk Istana, dalam beberapa kesempatan.

Istana yang memulai. Maka, ia pulalah yang harus mengakhiri. Harus ada ”syahadah” menempatkan pemberantasan korupsi kembali menjadi agenda utama dan bukan hanya mengemuka di pernyataan. Caranya sederhana: bisa dimulai dengan membatalkan RUU mati rasa ini.

Zainal Arifin Mochtar,
Direktur PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM/Kompas

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim