Konflik Tambang Pacitan Melanggar HAM

ilustrsi: handayaaji.wordpress.com

Konflik pertambangan timah di Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ditengarai rawan melanggar hak asasi manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menurunkan tim penyelidik ke lokasi untuk mencari informasi dan mengumpulkan fakta-fakta di lapangan terkait pelanggaran tersebut.

Komisioner Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak mengatakan, tim yang terdiri atas empat anggota tiba di Pacitan sejak dua hari lalu.

Mereka langsung bertemu dengan masyarakat di sekitar lokasi tambang, pemerintah daerah Kabupaten Pacitan, serta perusahaan pengelola tambang PT Gemilang Limpah Internusa (GLI).

Berdasarkan hasil pengumpulan data sementara, sedikitnya ada lima poin masalah pemicu konflik. Di antaranya adanya warga yang menolak menjual tanahnya kepada perusahaan tambang karena belum adanya kesepakatan mengenai besaran ganti rugi. Masalah ini melibatkan sedikitnya 15 keluarga sampai 60 keluarga.

Masyarakat menolak keberadaan perusahaan tambang karena mereka tidak melihat manfaat yang diterima warga. Sebaliknya, perusahaan diduga melakukan pelanggaran hukum lingkungan berupa pencemaran air sungai oleh limbah yang dibuang. Pencemaran terjadi terutama sebelum tahun 2010, sebab pada tahun 2011 tambang sudah ditutup oleh warga.

Dalam hal ini, masyarakat juga menuntut kejelasan mengenai izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Pacitan. Warga meragukan perusahaan sudah mengantongi amdal sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Persoalan lain adalah kinerja perusahaan yang patut dipertanyakan, misalnya terkait volume material hasil tambang yang dikirim ke China mulai tahun 2005-2009. Apakah pengiriman itu telah dilaporkan kepada negara.

Sebab, dari temuan di lapangan, perusahaan tambang yang awalnya hanya mengelola lahan 2,5 hektar dan menggunakan alat sederhana seperti cangkul itu saat ini telah menggunakan alat berat.

“Kami masih melakukan sinkronisasi data untuk menyusun kronologi. Belum sampai pada kesimpulan ada tidaknya pelanggaran HAM, tapi dugaan pelanggaran itu ada. Misalnya, dalam hal warga tidak mau menjual tanahnya, mereka diintimidasi,” kata Johny.

Selain itu, indikasi pelanggaran HAM bisa ditemukan pada kasus pencemaran air sungai yang mengakibatkan hilangnya hak masyarakat atas air tersebut. Padahal, air sungai telah menjadi bagian penting dalam kehidupan warga, misalnya sebagai pengairan atau dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ampuh (Aliansi Masyarakat untuk Pemberdayaan dan Pencerahan) Irwan Ismuratno mengatakan, konflik tambang timah di Desa Kluwih berlangsung sejak aktivitas pertambangan dimulai pada 2006. Konflik tersebut semakin meruncing karena upaya penyelesaian belum membuahkan hasil.

Konflik horizontal antara warga dan perusahaan memuncak saat masyarakat menutup akses ke pertambangan. Namun, naas, konflik semakin runcing ketika perusahaan mengerahkan para pekerjanya untuk melawan masyarakat. Dalam kasus ini, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat kecil, bukan pengusaha.

Berangkat dari fakta itulah, Irwan meminta bantuan kepada Komnas HAM untuk memediasi sengketa pertambangan di Pacitan supaya tidak berlarut-larut. Alasannya, upaya penyelesaian melalui pemerintah daerah belum membuahkan hasil.

Konflik pertambangan antara pengusaha dan masyarakat sekitar sejatinya tidak hanya terjadi di Pacitan. Komnas HAM melaporkan, dalam rentang waktu 2008-2010, terdapat sedikitnya 50 kasus yang saat ini aktif ditangani. Paling banyak kasus pertambangan terjadi di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, dan Papua.

Konflik dipicu oleh masalah pertanahan, perizinan, lingkungan hidup, masa depan warga, kontribusi pada negara serta keterbukaan pengelolaan usaha di mana perusahaan tambang enggan membeberkan hasil yang mereka peroleh. Kompas.com

Komentar Pembaca

  1. ya memang permasalahan pendirian tambang akan mengiming2i adanya peluang kerja atau daerah menjadi kawasan industri yang dapat meningkatkan perekonomian, akan tetapi disisi lain akan timbul masalah lain yang tak kalah mengerikan dan akan berdampak domino dan berkepanjangan
    Bukankah seharusnya sumber daya dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan dengan tujuan mewujudkan sumber daya yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim