Pelajaran Dari Amuk Nelayan

Ilustrasi (foto: Medan News)

Peristiwa amuk nelayan yang mengakibatkan rusaknya Markas Polairud, Kantor Perikanan dan pembakaran dua kendaraan milik aparat di Pelabuhan Perikanan Lekok, Kabupaten Pasuruan beberapa waktu lalu hendaknya menjadi pelajaran. Insiden itu terjadi setelah 7 nelayan dan perahunya ditangkap dalam sebuah operasi gabungan. Nelayan asal Desa Wates, Kecamatan Lekok ketahuan menggunakan alat tangkap terlarang.

Jaring trawl (pukat harimau) yang sudah dimodifikasi seperti cantrang, dogol, sudu, colok atau payang di Selat Madura, Laut Jawa, Selat Bali maupun di  Samudra Indonesia, sebenarnya sudah lazim digunakan nelayan di pesisir Jatim. Hal itu tepaksa dilakukan untuk mensiasati produksi tangkapan yang semakin merosot, terutama di perairan yang overfishing. Ekspresi kekecewaan ratusan nelayan di Lekok itu adalah yang kedua kalinya terjadi pada tahun 2010.

Pada bulan Mei tahun lalu, sekitar 25 pemuda pesisir unjukrasa di lokasi yang sama ketika Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad mencanangkan penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk perahu nelayan. Mereka memerotes ketimpangan sosial di wilayahnya.

“Kami butuh program nyata yang dapat menyejahterakan nelayan. Masalah pendidikan untuk anak nelayan kami minta juga diperhatikan,” kata Fauzin, Korlap unjuk rasa saat berdialog dengan Fadel Muhammad. Sejujurnya, peristiwa Lekok adalah akumulasi dari baragam persoalan sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sudah lama termajinalkan.

Sebagai ilustrasi, nelayan Lekok hanya bisa melaut di perairan dangkal yang jaraknya beberapa mil saja dari bibir pantai. Karena kapasitas kapal dan bahan bakar terbatas serta perairan yang padat tangkap, mereka hanya mampu melaut sehari semalam (one day fishing).

Ikan yang ditangkap pun hanya ikan laut dangkal yang harganya jauh sangat murah dibandingkan dengan ikan laut dalam yang harganya mahal dan relatif stabil. Faktor lain yang memengaruhi rendahnya kesejahteraan nelayan di Lekok maupun di Jatim antara lain, ketergantungan nelayan pada tengkulak atau juragan sangat tinggi.

Harga ikan pun menjadi fluktuatif, terutama saat musim panen ikan. Sebagai sampling, hasil menjaring ikan semalaman melaut di Selat Madura, perolehan satu perahu ukuran 5 Gross tonnage dengan 5 ABK, rata-rata hanya sekitar 10 kilogram. Hasil tangkapan yang dihargai juragan perahu atau pedagang Rp 120 ribu itu, disisihkan untuk membeli BBM Rp 50 ribu kemudian dikurangi bagian pemilik perahu 50 persen.

Hal yang sungguh ironis, hasil tangkapan nelayan Lekok seperti bawal putih, terasak, teri nasi banyak diekspor ke mancanegara. Akan tetapi penghasilan nelayannya sangat rendah. Demikian pula faktor musim sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan yang hanya mampu melaut 180 hari dalam setahun.

Di tahun mendatang kesejahteraan nelayan masih akan terkendala faktor cuaca ekstrim dan krisis sumber daya perikanan, akibat rusaknya terumbu karang dan migrasi ikan. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan yang digunakan berpengaruh pula pada cara menangkap ikan. Di samping itu keterbatasan teknologi, menjadikan kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan.

Inilah penyebab kesejahteraan nelayan Lekok dan nelayan pantura Jatim pada umumnya tidak kunjung membaik. Di Kabupaten Pasuruan tercatat 11.120 nelayan dan buruh nelayan yang umumnya tradisional. Produksi perikanan tangkap dan budidaya mencapai 5.212 ton per tahun, untuk memasok kebutuhan 3 industri canning dan 8 coldstorage yang ada di Kabupaten dan Kota Pasuruan.

Sebagai catatan, jumlah masyarakat miskin di Kabupaten Pasuran tahun 2009 sesuai data BPS tercatat 219 ribu orang. Umumnya tinggal di wilayah pesisir yang tersebar di Desa Kedungboto, Gedang klutuk (Kec. Bangil), Jatirejo, Tambaklekok, Wates, Semedusari (Kec. Lekok) dan Desa Nguling (Kec.Nguling).

Daya beli rendah

Pelabuhan Perikanan Lekok selesai dibangun tahun 2005 serta dilengkapi fasilitas Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN). Akan tetapi SPDN yang dibangun oleh Pemkab Pasuruan itu, tidak berfungsi sehingga nelayan harus membeli solar atau bensin eceran yang lebih mahal.

Di sisi lain pelabuhan perikanan yang menelan biaya sekitar Rp 6 milyar itu, belum memenuhi standar kelayakan pelabuhan perikanan. Selain tidak tersedia air bersih, tingginya sedimentasi menyebabkan perahu tidak bisa merapat di dermaga. Selain itu banyak kebijakan lainnya terkait penanggulangan kemiskinan di pesisir bersifat top down dan nelayan hanya dijadikan objek.

Sementara kondisi kesehatan dan pendidikan penduduk serta daya beli masyarakat di wilayah pesisir di kabupaten Pasuruan relatip rendah, dibandingkan rata-rata daerah lainnya di Jatim. Rendahnya ketiga variabel tersebut, disebabkan pengaruh kultur yang cukup melekat serta minimnya akses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Imbasnya, upaya meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami kesulitan, karena terkait dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang tidak mudah mengalami perubahan.

Hal itu dapat dicermati dari komponen daya beli masyarakat di Kabupaten Pasuruan yaitu sebesar 62,46 persen (BPS 2009), di bawah daya beli masyarakat Sidoarjo 65,69 persen dan di bawah rata-rata Jatim (64,77 persen). Sementara laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 hanya 5 persen, lebih rendah dari Kabupaten Probolinggo (5,17 persen). Sangat disayangkan upaya pemerintah belum menyentuh isu lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

Lihat saja, pemerintah tidak peduli nelayan tidak bisa melaut karena cuaca ekstrim, tidak mampu membeli BBM karena harganya mahal, kesulitan modal dan ikan hasil tangkapan minim karena laut tercemar. Amuk nelayan Lekok adalah bukti kegagalan pemerintah membangun masyarakat pesisir. Ibarat sumbu, kesenjangan sosial ekonomi, rasa ketidakadilan, dendam kemiskinan telah menyulut mereka bertindak anarkis.

Oki Lukito, Direktur Regional Economic Maritime Institute

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim