Menggantung Nasib Minoritas

Ilustrasi (dok. regional.kompasiana.com)

Salah satu cita-cita luhur bernegara adalah melindungi kelompok warga lemah. Negara mengatur yang kuat karena cenderung mendominasi, melindungi yang lemah karena cenderung didominasi. Namun, cita-cita itu sedang menjauh dari Indonesia dengan kekalahan berulang kali negara bangsa oleh massa primordial.

Kekuatan negara terpasung sehingga gagal melindungi minoritas. Indonesia pun berada di nadir tingkat berbangsa.

Klaim Indonesia sebagai negara hukum dimentahkan oleh kenyataan bahwa hukum justru dilecehkan massa. Tindak kekerasan oleh elemen sipil merupakan tamparan keras bagi negara sebagai yang berhak melakukan kekerasan koersif. Dari pola penegakan hukum yang lemah, cara aman bertindak anarkis di Indonesia adalah dengan berlindung dalam aksi massa dan membentuk demokrasi jalanan.

Politisasi minoritas

Indonesia memasuki fase demokrasi mayoritas yang mencederai keutuhan bangsa. Berhadapan dengan penguasa tiran, demokrasi memang berarti kehendak mayoritas. Namun, bahasa mayoritas-minoritas tak berlaku dalam soal-soal terkait kebenaran dan hak. Jika negara memberlakukannya, terjadilah diskriminasi terstruktur. Terjadilah kekacauan peran pokok negara untuk melindungi rakyat, terutama minoritas lemah.

Kesetaraan minoritas diakui secara hukum, tetapi berbeda praktiknya. Karena itu, kaum minoritas merasa terombang-ambing oleh kebijakan dan praktik diskriminatif pemerintah. Negara pun berkepentingan dengan viktimisasi minoritas yang berlarut-larut dan menyedot perhatian, seolah-olah itu persoalan utama bangsa. Padahal, mereka hanya menjadi kambing hitam sosial sebagai pengalih isu.

Setelah insiden, pemerintah berperan sebagai pemadam kebakaran. Hukuman bagi pelaku pun ringan. Provokator dan penggerak hampir selalu lolos dari jerat hukum. Demi kerukunan, pemerintah mengajak pihak yang merugikan dan dirugikan untuk saling memaafkan.

Pemerintah berhitung untuk tidak memakai otoritas penegakan hukum yang keras. Ini karena minoritas memiliki daya lawan yang rendah. Kelompok korban tak akan menimbulkan guncangan politik. Dalam kalkulasi pragmatisme politik, kerugian dan korban jiwa warga, bahkan keutuhan bangsa yang retak, nilainya tidak seberapa.

Maka, minoritas pun dipelihara sebagai bumper amuk sosial. Mereka dibiarkan terus-menerus dijaga aparat keamanan. Padahal, rasa aman sejatinya adalah tanpa penjagaan khusus. Itu hanya dimungkinkan dengan ketegasan penegakan hukum dan keberpihakan pada komunitas rawan korban pelanggaran.

Politik identitas

Kekuasaan negara yang begitu besar seharusnya melampaui aspirasi kelompok-kelompok masyarakat yang sudah bergabung ke dalam negara-bangsa, mengatasi kecenderungan mayoritas untuk memaksakan kehendak.

Namun, kekuasaan di tangan penyelenggara negara yang tak memihak hak asasi warga berubah menjadi kekuatan yang justru membahayakan eksistensi minoritas lemah saat mereka seharusnya dibela dan dilindungi.

Ada yang salah dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia. Sentimen kebangsaan dikalahkan sentimen keagamaan. Jika perasaan sebagai saudara sebangsa mengatasi perasaan saudara seiman, tentu tak ada tindakan main hakim sendiri. Begitu identitas keagamaan mengatasi identitas kebangsaan, obyek kekerasan hanya dilihat sebagai liyan.

Negara memberikan contoh berpolitik identitas dengan membiarkan agama mengalahkan profesionalisme birokrasi. Dalam perekrutan pegawai negeri, ada daerah yang menjadikan keterampilan beragama sebagai salah satu syarat penerimaan, mengalahkan kriteria moralitas pribadi dan profesionalisme.

Maka, birokrasi pun dikelola teokrat. Pejabat publik lebih menonjolkan sisi insan beragama daripada negarawan. Dalam praktik, Indonesia semakin seperti negara agama. Sikap pemerintah pusat ambigu terkait birokrat yang lebih berperan sebagai teokrat. Padahal, keluhuran agama bukan pada diri yang harus dibela, melainkan pada ajaran yang harus diamalkan, ajaran yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kesetaraan.

Sejak Orde Baru, pemerintah dengan sadar mengeluarkan instrumen kebijakan yang memasung hak minoritas, melemahkan posisi mereka menjadi pihak yang diatur dan menanggung ongkos sosialnya. Dalam mengakomodasi kepentingan mayoritas, negara telah menyudutkan posisi minoritas.

Negara demokratis tak akan kuat dengan kualitas rakyat yang menjauhi demokrasi kesetaraan. Negara demokratis tak akan kuat membiarkan minoritas lemah sebagai kambing hitam dan target amuk massa. Entah sampai kapan Indonesia menjadi negara yang gagal membela minoritas menghadapi tekanan mayoritas.

Yonky Karman Penulis adalah Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Harian Kompas, 26-2-2011

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 8121. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim