Menghidupkan Semangat Penelitian Para Dosen

Carunia Mulya Firdausy

Potret buruk dosen/peneliti dalam melakukan penelitian dan memublikasikan hasil penelitiannya menjadi sorotan media ini beberapa waktu lalu. Berdasarkan survei SCImago, publikasi berdasarkan hasil penelitian selama 13 tahun (1996-2008) hanya mencapai 9.194 tulisan. Padahal jumlah dosen/peneliti di perguruan tinggi saja sebanyak 89.022 orang. Dengan angka tersebut, posisi Indonesia berada di urutan ke-64 dari 234 negara yang disurvei, berada jauh di bawah Singapura (peringkat 31), Thailand (peringkat ke-42), dan Malaysia (peringkat 48).

Menanggapi persoalan tersebut, Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) dalam seminggu lalu menggalang opini para peneliti dan pegawainya melalui milis www.ristek.go.id untuk mengetahui mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana solusinya.

Tidak mengherankan jika jawaban yang diberikan peneliti dan pegawai ristek terhadap dua pertanyaan tersebut sangat beragam. Sebagian menuding rendahnya perhatian pemerintah terhadap penelitian sebagai biang penyebabnya. Adapun sebagian lain mempersoalkan akar masalahnya terletak pada jebakan pragmatisme dosen/peneliti untuk bertahan hidup vis-a-vis pengorbanan profesi yang digelutinya. Resultan dari yang disebut terakhir ini menjadikan ‘penelitian adalah perkara uang, bukan ilmu’. (Saifur Rohman, 2010).

Opini Saifur Rohman tersebut bukanlah pandangan baru. Hal ini mengingatkan saya pada saat bertugas kembali sebagai peneliti LIPI setelah menyelesaikan studi doktor ekonomi di Australia. Tepatnya pada 1992, saat dana penelitian dari sumber APBN yang digelontorkan untuk semua peneliti di Pusat Penelitian (Puslit) Ekonomi tidak lebih dari Rp200 juta.

Dengan dana APBN tersebut, saya dan kolega peneliti lainnya kemudian membentuk satu tim untuk merumuskan sebuah proposal penelitian menyangkut persoalan kemiskinan sebagai bidang yang saya tekuni. Singkat cerita, hasil penelitian tersebut dapat dimuat di jurnal Asian Development Review (1994), Malaysian Journal of Economic Studies (1993), dan Bulletin of Indonesia Economic Studies (1992) dengan fokus yang berbeda tentunya.

Cerita narsisistis tersebut dibagi di sini dengan maksud untuk memberikan penegasan betapa dana penelitian yang rendah bukan sebagai penghambat melakukan penelitian dan penulisan berkaliber internasional. Integritas profesionalitas sebagai peneliti dan lingkungan kolega yang kondusif ditambah keberadaan saya sebagai seorang lulusan yang masih fresh itulah yang menjadi kekuatan utama berkarya di ranah penelitian.

Tentu pengalaman ini tidak sesederhana untuk dapat dibagi apalagi dilakukan oleh semua dosen/peneliti, walaupun sama-sama memiliki profesi yang sama. Lantas, bagaimana cara umum untuk membangunkan dosen/peneliti untuk melakukan penelitian?

Membangunkan dosen/peneliti

Tentu munafik untuk mengatakan uang tidak diperlukan dalam membangunkan dosen/peneliti untuk melakukan penelitian. Meski begitu, juga keliru untuk mengatakan penelitian adalah perkara uang semata. Rendahnya korelasi antara dana penelitian dan kegiatan penelitian oleh dosen/peneliti telah teruji, misalnya, dari pelaksanaan program penelitian kompetitif yang diintroduksikan Kementerian Pendidikan Nasional maupun dalam program insentif riset yang digelontorkan Kementerian Riset dan Teknologi.

Ternyata, dana yang cukup besar di atas Rp100 miliar yang disediakan di kedua program ini tidak banyak menarik dosen/peneliti untuk mengajukan proposal penelitian. Jika pun terdapat pengajuan proposal penelitian oleh dosen/peneliti dalam kedua program ini, bentuk penelitian yang diajukan lebih dari 80% merupakan penelitian riset dasar dan riset aplikatif.

Padahal, maksud utama diperkenalkannya program insentif riset ini lebih ditujukan untuk penelitian yang bersifat difusi iptek dan peningkatan kapasitas produksi iptek.

Contoh lain yang lebih memprihatinkan sebagai bukti lemahnya kemauan dosen/peneliti untuk melakukan penelitian yang tidak memiliki constraint dana yakni penelitian yang didanai pihak swasta dan apalagi pihak asing. Berbagai kerja sama penelitian yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pendidikan Nasional dengan pihak asing (terutama Australia, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika) yang umumnya berdana relatif ‘aduhai’ selalu nyaris tidak disesaki dosen/peneliti kita.

Akibatnya, kekosongan tersebut sering ditangkap konsultan peneliti asing, yang anehnya motor pelaksana penelitian tersebut adalah dosen/peneliti kita sendiri. Oleh karena itu, pemikiran kembali (rethinking) terhadap program insentif riset dan program sejenis lainnya yang ditujukan untuk membangunkan dosen/peneliti melakukan penelitian mutlak diperlukan. Lantas, bagaimana caranya?

Tiga cara

Paling tidak terdapat tiga cara berikut yang dapat dilakukan. Pertama, program penelitian seperti program insentif penelitian Kementerian Riset dan Teknologi ataupun program riset kompetitif Kementerian Pendidikan Nasional sebaiknya tidak perlu lagi semuanya dilakukan dengan cara kompetitif seperti yang selama ini dilakukan. Melainkan, dapat pula diberikan secara langsung kepada perguruan tinggi dan/atau institusi penelitian yang memiliki program penelitian dan pengembangan yang bermanfaat bagi perekonomian dan masyarakat maupun pengembangan ilmu.

Kedua, membentuk koordinator penelitian di salah satu perguruan tinggi atau institusi penelitian yang dapat mewakili daerah atau wilayah dalam melakukan penelitian. Untuk Sulawesi Selatan, misalnya, Universitas Hasanuddin dapat ditunjuk sebagai koordinator dalam menggerakkan dosen/peneliti perguruan tinggi untuk melakukan penelitian di propinsi ini. Demikian seterusnya untuk daerah-daerah lainnya. Namun, jika di suatu provinsi tidak terdapat perguruan tinggi yang dapat diandalkan berperan sebagai koordinator penelitian, seperti di NTB dan NTT, dapat ditunjuk koordinator wilayah yang dekat dengan kedua perguruan tinggi tersebut.

Ketiga, melibatkan keberadaan lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) yang memiliki tugas utama penelitian dan pengembangan seperti LIPI, BPPT, dan Batan maupun lembaga penelitian kementerian (LPK) terutama Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian yang memiliki profesor riset terbanyak untuk membantu tenaga dosen/peneliti serta mahasiswa pascasarjana di setiap perguruan tinggi dalam pelaksanaan penelitiannya. Singkatnya, membangunkan dosen/peneliti untuk melakukan penelitian bukan hanya dengan uang, tetapi dengan memberikan kesempatan dan dukungan serta kemudahan kepada mereka untuk melakukannya. Semoga.

Oleh : Carunia Mulya Firdausy, Profesor Riset Bidang Ekonomi LIPI
Media Indonesia

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim