Kuasa (Negara) Tanpa Wibawa

Ilustrasi

Kekerasan massa yang menewaskan tiga orang dan melukai belasan anggota jemaah Ahmadiyah di Pandeglang serta insiden pembakaran mobil dan perusakan gereja dan sekolah di Temanggung, terkait dengan pelecehan agama, sungguh menyayat hati.

Nilai ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, sila kedua Pancasila, seakan untaian kata-kata tanpa makna karena ada sebagian warga bangsa Indonesia yang masih bertingkah laku biadab seperti zaman kegelapan di Eropa. Dari rekaman video kasus di Pandeglang yang beredar ke seantero dunia melalui YouTube, negara seolah melakukan pembiaran atas tindak kekerasan atas nama agama. Polisi seakan tak berdaya dalam penegakan hukum, perlindungan masyarakat, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Negara juga terbukti telah melanggar hukum internasional, yaitu Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi pemerintahan SBY pada 2005, yang berarti jadi bagian hukum positif di Indonesia. Ini jelas mencoreng citra di mata dunia.

Berbagai rumor pun berkembang. Ada yang menyatakan, kedua peristiwa yang diikuti kerusuhan di Bogor dan Tasikmalaya (walau tak sampai menimbulkan korban) itu bukan insiden biasa, melainkan direkayasa. Salah satu tafsiran, itu direkayasa untuk mendiskreditkan Polri yang tak mampu menjaga kamtibmas, melindungi masyarakat, dan menegakkan hukum. Rumor yang lebih seram, semua peristiwa itu didesain kalangan istana, atau semacam operasi intelijen, sebagai balas dendam terhadap tuduhan para tokoh lintas agama bahwa pemerintah telah melakukan 18 kebohongan publik, yang membuat SBY murka.

Jika rumor ini benar, walau penulis menyangsikannya, ini bagaikan ”menepuk air didulang dan muka sendiri kena perciknya” atau ”siapa menabur angin akan menuai badai” karena bermain-main dengan kekerasan massa terkait persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) berbahaya bukan saja bagi negeri ini, melainkan juga bagi citra pemerintah dan bangsa Indonesia.

Kuasa tanpa wibawa

Lepas dari apakah berbagai kekerasan massa itu kecelakaan atau direkayasa, kita dapat menyimpulkan betapa penguasa negara saat ini bagaikan tanpa wibawa. Polisi yang secara legal punya otoritas melindungi masyarakat, menegakkan hukum, dan menjaga kamtibmas sungguh tak punya wibawa menghadapi massa mengamuk. Mengapa otoritas Polri tak mencegah lewat berbagai tindakan persuasif atau paksaan ketika mereka sudah mengetahui persiapan yang begitu matang dari penyerang yang datang bukan dari Pandeglang dan Temanggung?

Mengapa aparat Polri setempat tak berupaya meminta bantuan tambahan kekuatan dari Brimob atau TNI dari wilayah terdekat? Mengapa mereka hanya jadi penonton yang membiarkan pembunuhan biadab dan perusakan di depan mata? Negara benar-benar antara ada dan tiada. Negara modern yang diorganisasi, antara lain, untuk menentang tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang atau kelompok kepada orang atau kelompok lain seakan tak ada wibawa, kalau tak dapat dikatakan lumpuh. Dalam konteks ini pula, Presiden SBY juga terasa kehilangan kewibawaannya dalam penegakan hukum karena tak sedikit instruksinya terkait penegakan hukum tidak dijalankan oleh jajaran di bawahnya.

Contohnya, 12 butir instruksi mengenai penegakan hukum atas kasus megaskandal Century, mafia pajak, dan mafia hukum terkait kasus Gayus, banyak yang belum dijalankan bawahannya walau tenggang waktu seminggu sudah lama lewat.

Lebih aneh, pernyataan Presiden 9 Februari. ”Jika ada kelompok dan organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan, kepada penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan” justru dikomentari berbeda oleh Mendagri dan Menhuk dan HAM (Kompas, 10/2). Suka atau tidak, ini dapat ditafsirkan betapa tak berwibawanya presiden di mata pembantunya sendiri.

Akar persoalan

Persoalan fundamental terkait kekerasan massa bukan terletak pada diterapkannya model demokrasi liberal di bumi Indonesia, melainkan demokrasi kita memang belum terkonsolidasi. Konsolidasi baru tampak jika para elite dan massa benar-benar mendasari sikap dan tindakannya pada konstitusi negara dan aturan perundang-undangan di bawahnya. Konsolidasi demokrasi tercapai bila tidak ada kekuatan (militer, ekonomi, dan massa) yang dapat menjatuhkan pemerintahan, memisahkan diri dari negara induk, atau bertindak brutal terhadap kelompok minoritas yang tak berkuasa.

Demokrasi bukanlah kebebasan sebebas-bebasnya karena kebebasan seseorang atau kelompok dibatasi kebebasan orang atau kelompok lain. Demokrasi juga menuntut kebebasan intelektual, antara lain, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers. Demokrasi bukan hanya cocok bagi masyarakat Eropa atau AS karena Perancis pun baru jadi negara demokrasi modern setelah Revolusi Perancis dan Perang Napoleon pada 1792-1815. Jepang, Italia, dan Jerman yang dulu penganut fasisme baru jadi negara demokrasi setelah Perang Dunia II. India yang rakyatnya amat majemuk juga dapat jadi negara demokrasi terbesar di dunia setelah merdeka pada 1947 walau ketimpangan ekonomi amat besar.

Persoalannya, selama penganut agama masih bertarung mendapatkan massa pendukung atau umat, yang berbaur dengan penguasaan ekonomi, selama itu pula terus ada pergesekan antarumat beragama. Persoalannya, apakah konflik dapat dikelola secara baik atau tidak. Hanya lewat tindakan tegas, terarah, dan terukur sesuai kaidah hukum, penguasa negara punya wibawa di mata rakyat. Kuasa tanpa wibawa bikin negeri bagai negeri dengan hukum rimba, siapa kuat, dia menang.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs–LIPI
(Sumber: Harian Kompas 11-2-2011)

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim