Memaknai Pertumbuhan Ekonomi

pertumbuhan-ekonomi

Ilustrasi

Badan Pusat Statistik telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 sebesar 6,1 persen, lebih tinggi dari yang ditargetkan pemerintah. Pada triwulan IV 2010 pertumbuhan ekonomi melaju hingga 6,9 persen.

Faktor penyerapan APBN yang menumpuk pada triwulan III dan IV dianggap sebagai salah satu sumber penting pertumbuhan triwulan terakhir 2010 tersebut. Jika dikuliti pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor, sektor pengangkutan dan telekomunikasi tumbuh paling tinggi (13,5 persen).

Sektor jasa (nontradable) lain tumbuh lumayan mengesankan. Sektor konstruksi tumbuh 7 persen, sektor keuangan dan jasa 5,7 persen, dan sektor jasa-jasa lain 6 persen. Sementara itu, kinerja pertumbuhan sektor riil masih jeblok. Sektor pertanian hanya tumbuh 2,9 persen, sektor pertambangan dan penggalian 3,5 persen, dan sektor industri pengolahan 4,5 persen. Pola pertumbuhan seperti ini telah berjalan dalam beberapa tahun terakhir (sekitar lima tahun) dan belum ada tanda-tanda bakal berubah.

Zona Pertumbuhan Rendah

Terdapat tiga catatan penting dari struktur pertumbuhan 2010 tersebut. Pertama, pertumbuhan ekonomi di sektor riil tetap berada dalam zona rendah (di bawah 5 persen) sehingga menimbulkan komplikasi persoalan yang tidak terpecahkan dalam sejarah modern ekonomi nasional, yakni kemiskinan dan pengangguran.

Sampai 2009 sektor pertanian (perkebunan, kehutanan, dan perikanan) menyumbang sekitar 41 persen tenaga kerja, sedangkan sektor industri pengolahan menyerap sekitar 12 persen tenaga kerja. Jadi, kedua sektor tersebut menyerap lebih dari 50 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Jika kedua sektor tersebut terjebak dalam zona pertumbuhan rendah, masalah kemiskinan dan pengangguran tidak akan bisa dikurangi secara meyakinkan.

Penyebabnya, di kedua sektor itulah kantong-kantong kemiskinan berada (petani, nelayan, buruh). Demikian pula, bila kedua sektor itu tumbuh rendah, kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja juga sangat terbatas.

Kedua, sektor nontradable selama beberapa tahun terakhir justru bergerak cepat dan menjadi sumber terpenting pertumbuhan ekonomi. Dalam peta penyerapan tenaga kerja, sektor telekomunikasi, konstruksi, dan keuangan kira-kira menyumbang 11,5 persen tenaga kerja.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, sektor tersebut menikmati kemakmuran ekonomi yang lebih besar ketimbang sektor lain. Implikasinya, tenaga kerja yang terlibat di dalamnya memperoleh penghasilan lebih besar. Tentu saja fakta ini meniupkan masalah berikutnya, yakni munculnya intensitas ketimpangan pendapatan yang lebih besar antarsektor ekonomi (juga ketimpangan pendapatan antarpelaku dan antarwilayah).

Tanpa disadari pula, ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara sektor produksi barang (tradable) dan nontradable bakal menjadi sumber persoalan ekonomi yang akut, bahkan menjalar ke masalah sosial dan politik di kemudian hari.

Ketiga, daya saing, nilai tambah, dan diversifikasi komoditas perekonomian nasional dipastikan bakal keropos karena sektor manufaktur mengalami gejala penurunan (deindustrialisasi).

Jika pertumbuhan dan kontribusi sektor industri rendah, hal itu menunjukkan ketiadaan strategi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan.

Contoh sederhana, saat ini Indonesia merupakan eksportir besar di dunia untuk beberapa komoditas, seperti kelapa sawit, ikan tuna, dan batu bara. Namun, nilai dari produk tersebut sangat murah di pasar internasional dibandingkan apabila produk tersebut diolah terlebih dulu di dalam negeri.

Tampaknya kita terlena untuk menikmati pendapatan dalam jangka pendek ketimbang memproses untuk menghasilkan nilai tambah lebih besar dalam jangka panjang. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak bisa memaksimalkan pertumbuhan ekonomi karena hanya menghasilkan produk primer.

Tren Informalisasi Ekonomi

Berbicara mengenai mutu pertumbuhan ekonomi, Indonesia pada periode 1980-1993 (bersama dengan Malaysia) dimasukkan sebagai kasus terbaik (best case) negara yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Sebaliknya, Rusia (1980-1993) merupa- kan kasus terburuk (worst case) karena mencatat pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi.

China (1985-1993) dan Thai- land (1981-1992), pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi pemerataan pendapatannya jelek. Sedangkan Sri Lanka (1981-1990), pemerataan pendapatannya bagus, tetapi pertumbuhan ekonominya rendah (Fritzen, 2002).

Pada periode tersebut (1980-1993) sektor riil di Indonesia tumbuh bagus sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh pemerataan pendapatan yang bagus. Hal ini tentu sangat berbeda dengan struktur pertumbuhan saat ini yang terkonsentrasi pada sektor non- tradable.

Salah satu implikasi dari strategi pembangunan yang hanya bertumpu pada satu kaki ini dapat dilihat dari adanya gejala informalisasi ekonomi. Artinya, kegiatan ekonomi disesaki pelaku sektor informal, termasuk tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.

Pada 2009 tenaga kerja yang masuk ke sektor informal hampir mencapai 65 persen dari total angkatan kerja, padahal pada 2008 jumlahnya baru 61 persen.

Realitas ini tentu mengenaskan karena pada saat modernisasi dan transformasi struktural ekonomi telah berjalan, pelaku ekonomi yang terlibat dalam sektor informal justru bertambah. Hal ini terjadi karena sektor industri pengolahan macet dan sektor pertanian tidak mampu memberikan harapan hidup kepada pelakunya.

Sekarang semuanya terpulang kepada pemerintah, apakah akan meneruskan pola pembangunan seperti sekarang atau bekerja keras mengubah haluan ekonomi dengan mendorong sektor ekonomi yang menafkahi kepentingan sebagian besar masyarakat.

Ahmad Erani Yustika: Guru Besar FE Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Kompas, 10-2-2011

Tulis Komentar

Silahkan isi nama, email serta komentar Anda. Namun demikian Anda tidak perlu khawatir, email Anda tidak akan dipublikasikan. Harap gunakan bahasa atau kata-kata yang santun. Terima kasih atas partisipasi Anda.





© Copyright 2024. Bappeda Provinsi Jawa Timur. Kembali ke atas | Kontak Kami | RSS Feed
Created & Design by IoT Division Bappeda Jatim